Selasa, 26 Oktober 2010

Kepada Siapa Hati Kita Bergantung?

Penulis : Al Ustadz Ayub Abu Ayub

“Mbah, permisi ya!” Kata-kata ini atau yang semakna ini acap kali terdengar
ketika seseorang menginjakkan kakinya di wilayah yang kelihatannya jarang
dikunjungi oleh makhluk yang bernama manusia. Atau sebagai kata-kata yang sering
dilontarkan ketika melewati sebuah jalan tertentu yang diyakini seandainya
mereka yang lewat tidak mengucapkannya maka sangat dikhawatirkan malapetaka akan
menimpanya.

Ritual penyembelihan ayam hitam juga kerap dilakukan dalam rangka menolak bala.
Tempat yang sering terjadi musibah di situ mesti dicucuri darah ayam hitam ini.
Tentu saja dengan keyakinan dan harapan angka kecelakaan bisa hilang atau
diminimalisir. Begitu juga upacara-upacara yang mempersembahkan sesajen-sesajen
lengkap dengan kepala kerbaunya kepada para “penguasa” alam ini. Mulai dari
“penguasa” hutan, gunung, laut, kampung, dusun, kota, hingga kepada “penguasa”
jalan. Jimat-jimat, rajah-rajah dan berbagai macam bentuk simbol keberuntungan
juga banyak menghiasai rumah, toko, pabrik, kantor, tubuh, dan lain sebagainya,
seraya berharap keberuntungan selalu mendampingi usaha mereka.

Tak bisa diingkari lagi bahwa fenomena ini memang terjadi di tengah-tengah kita.
Bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit. Seseorang yang paling berpendidikan
sekalipun kadang tak luput dari hal-hal yang demikian. Mereka yang terdidik
untuk berpikir secara rasional ternyata kerasionalan itu hilang begitu saja
ketika berhadapan dengan hal yang demikian. Kenapa ini bisa terjadi?

Ini terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati terhadap hal-hal
yang diyakini tersebut. Ketika seseorang permisi -untuk melalui suatu jalan atau
mendatangi suatu tempat asing- kepada yang dianggap berkuasa di tempat itu maka
sesungguhnya itu terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati orang
tersebut dengan sesuatu tadi. Dengan adanya ketergantungan dan keterkaitan hati
ini dia berkeyakinan bahwa sesuatu itu akan melindungi dia. Dia sandarkan
nasibnya kepada sesuatu tersebut. Inilah yang terjadi. Lalu bagaimana Islam
menghukumi terhadap hal-hal yang demikian?

Islam mengajarkan agar seseorang hanya menggantungkan dan mengaitkan hatinya
kepada ALLAH semata. ALLAH-lah yang telah menciptakannya. ALLAH jua yang
mengarunainya rezeki. ALLAH yang mengatur alam ini. ALLAH yang menguasai jagat
raya ini. ALLAH yang berkuasa atas segala sesuatu. ALLAH yang melakukan apa saja
yang dikehendaki-Nya. ALLAH Dzat yang Maha Mendengar. ALLAH Dzat yang Maha
Melihat. ALLAH Dzat yang Maha Mengetahui. ALLAH yang mengabulkan permintaan dan
permohonan hamba-Nya. ALLAH yang memberi manfa’at dan madhorot. ALLAH dengan
segala kesempurnaan dzat dan sifat-sifat-Nya. Sungguh amat pantas dan memang
sudah semestinyalah bagi seseorang untuk menggantungkan dan mengaitkan hatinya
hanya kepada ALLAH semata, Dzat yang Maha Sempurna.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Barang siapa yang bergantung kepada sesuatu maka dia serahkan kepadanya (HR.
Tirmidzi dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albany rahimahullah)

Yaitu barang siapa yang bergantung kepada sesuatu dan menjadikannya sebagai
tujuan, sehingga dia menggantungkan harapan kepadanya dan menjadikannya sebagai
penghilang rasa takutnya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada sesuatu
tersebut dan akan bersandar kepadanya. Begitu pula, apabila seseorang hanya
bergantung kepada ALLAH, maka dia akan menjadikan ALLAH sebagai tujuannya, dia
gantungkan harapannya kepada-Nya, dan ALLAH-lah yang menghilangkan rasa takut
yang ada pada dirinya. Dia serahkan dan sandarkan dirinya, hanya kepada ALLAH
Ta’ala.

Sebaliknya, apabila dia bergantung kepada sesuatu selain ALLAH, maka dia akan
berserah diri dan menyandarkan dirinya kepada sesuatu tersebut. Dan ini adalah
salah satu bentuk kesyirikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Barang siapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik” (HR. Imam
Ahmad)

Seseorang yang menggantungkan jimat dalam rangka mengangkat malapetaka atau
melindungi diri dari musibah berarti dia telah menggantungkan hatinya kepada
jimat tersebut. Berarti pula dia telah menyandarkan dirinya dan hatinya kepada
jimat tersebut. Dia berkeyakinan bahwa jimat itu bisa melindungi dia dari mara
bahaya. Padahal tidak ada yang bisa melindungi dia dari mara bahaya kecuali
Çááøåõ Ta’ala. Karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghukumi
bahwa orang yang demikian telah berbuat syirik. Kenapa? Karena hatinya sudah
bergantung dan bersandar kepada selain ALLAH, dan ini sangat bahaya.

Bahaya? Ya, karena syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni. Selain itu,
orang yang menyandarkan hatinya tidak kepada ALLAH, maka hatinya akan menjadi
lemah. Coba orang yang seperti ini dijauhkan dari jimatnya. Atau larang dia
untuk mengucapkan kata “permisi” kepada “penunggu” kawasan. Atau cegah dia dari
penyembelihan ayam hitam. Atau larang dia untuk mempersembahkan sesajen. Apa
yang akan terjadi? Hatinya akan gelisah, resah, takut bahwa mara bahaya akan
menimpanya. Khawatir keberuntungan tidak akan menyapanya. Cemas, harapannya
tidak bisa terwujud. Apakah hati yang seperti ini bisa dikatakan sebagai hati
yang kuat? Atau sebagai hati yang sehat? Bahkan sebaliknya, yang seperti ini
adalah hati yang lemah dan sakit.

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bertawakal hanya kepada ALLAH.

(Artinya: “Barang siapa yang bertawakkal hanya kepada ALLAH, maka ALLAH cukup
baginya” )

(Ath Tholaq: 3)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bersandar hanya kepada ALLAH.

(Artinya:”Cukup bagi kami Allah dan sebaik-baik tempat penyerahan diri“) (Ali
Imran:173)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang meminta pertolongan hanya kepada
ALLAH.

(Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan” ) (Al Fatihah: 5)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang berlindung hanya kepada ALLAH.

(Artinya:“Katakanlah (-wahai Muhammad-): “Aku berlindung kepada Rabbnya
Manusia”)
(An-Naas: 1)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang takut hanya kepada ALLAH.

(Artinya: “Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya
kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman.“) (Ali Imran:175)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bergantung hanya kepada ALLAH saja.

Ketahuilah, ketergantungan hati kepada selain Allah

Ta’ala ada beberapa macam:

1. Ketergantungan hati yang menyebabkan sirnanya nilai tauhid secara
keseluruhan, yaitu dia bergantung kepada sesuatu yang sebenarnya tidak mempunyai
pengaruh sama sekali, dan bersandar kepadanya, yang menyebabkan dia berpaling
dari ALLAH Ta’ala. Seperti; ketergantungan para penyembah kuburan terhadap para
penghuninya -untuk melepaskannya dari musibah-musibah yang menimpanya-. Oleh
karena itu, jika mereka menemui mara bahaya yang dahsyat, mereka akan
mengatakan, “Wahai fulan, selamatkanlah kami!” Yang demikian ini -tidak
diragukan lagi adalah kesyirikan yang besar, yang mengeluarkan seseorang dari
Islam.

2. Ketergantungan hati yang melenyapkan kesempurnaan tauhid. Yaitu, ketika
seseorang bersandar kepada sebab-sebab yang dibolehkan oleh syari’at ini, akan
tetapi dia lalai terhadap yang menciptakan sebab-sebab tersebut, yaitu ALLAH
‘Azza wa Jalla, dan dia tidak memalingkan hatinya kepada-Nya. Dan ini adalah
salah satu bentuk kesyirikan. Tetapi tidak dikatakan syirik besar, karena
sebab-sebab ini memang telah ALLAH jadikan sebagai sebab.

3. Dia bergantung dengan sebab semata-semata hanya karena itu sebagai sebab
saja. Sementara penyandaran asalnya masih hanya kepada ALLAH Ta’ala. Maka dia
berkeyakinan bahwa sebab ini adalah dari ALLAH Ta’ala, dan bahwasanya ALLAH
-kalau Dia menghendaki akan menghilangkan pengaruhnya atau membiarkannya-. Dan
dia berkeyakinan, bahwasanya sebab tersebut tidak akan memiliki pengaruh kecuali
dengan kehendak ALLAH Ta’ala. Yang demikian itu
tidaklah mengurangi sama sekali kesempurnaan tauhidnya.

Lihatlah akhir dari keadaan seseorang yang menggantungkan hatinya kepada selain
ALLAH. Akhir yang menakutkan dan mengerikan. Akhir yang penuh dengan risiko dan
mara bahaya. Siapakah kiranya -orang berakal- yang menginginkan hatinya menjadi
lemah. Siapa juga yang sudi hatinya menjadi sakit. Bahkan akhirnya terjatuh ke
dalam jurang kesyirikan yang sangat berbahaya.

Jika seseorang terjatuh ke dalamnya, hanya dengan rahmat ALLAH serta taufiq-Nya
sajalah dia biasa bangkit dan selamat dari jurang tersebut. Tanpa itu, mustahil
seseorang akan selamat.

Sudah saatnya bagi kita untuk bercermin, kemudian berkata;

Kepada siapa selama ini hati ini aku gantungkan? Kepada siapa selama ini hati
ini aku sandarkan? Kepada siapa selama ini jiwa ini aku serahkan? Kepada-Mu kah
ya ALLAH, atau kepada jimat-jimat yang tergantung indah? Atau kepada para
“penguasa” alam tersebut yang katanya bisa melindungi? Atau kepada secuil
pekerjaan yang menjanjikan? Atau kepada mereka yang katanya akan menjamin
kebahagiaan hidupku? Atau, kepada siapakah?

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang hanya bertawakal kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang selalu bersandar kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang menggantungkan hatinya hanya
kepada-Mu.

Tidak ada komentar: