Sabtu, 23 Juni 2012

Pengertian Iman

IMAN menurut lughah (bahasa yang biasa digunakan sehari-hari) berarti percaya. Sebab itu orang yang beriman dikatakan orang yang percaya. Siapa yang percaya maka dia dikatakan beriman. Tidak ada uraian tentang bagaimana cara dan syarat percaya yang dimaksud. Yang kedua takrif (pengertian) iman menurut istilah syariat Islam adalah seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW yang berbunyi: Terjemahan: Iman adalah mengenal dengan hati, mengucapkan dengan lidah dan mengamalkan dengan jasad (anggota lahir). (At Tabrani) Dengan Hadits itu kita diberitahu bahwa iman adalah keyakinan yang dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan mulut (lidah) dan dibuktikan dengan amalan. Ringkasnya orang yang beriman adalah orang yang percaya, mengaku dan mengamalkan. Tanpa ketiga syarat itu, orang itu belum dapat dikatakan memiliki iman yang sempurna. Bila satu dari tiga faktor itu tidak ada, maka dalam Islam orang itu akan dimasukkan pada golongan lain, mungkin fasik, munafik atau kafir. Mari kita lihat apa yang terjadi pada orang yang tidak memenuhi ke-3 syarat iman tersebut: Seseorang yang beriman dengan ucapan ‘Lailahaillallah’ dan memiliki keyakinan, tetapi tidak beramal atau amalnya tidak sempurna sebagaimana yang dikehendaki, dimasukkan dalam golongan mukmin yang fasik atau mukmin ‘asi (durhaka). Di Akhirat nanti tempat mereka adalah Neraka. Bila iman yang dimiliki itu sah, maka masih ada peluang untuknya ke Syurga, setelah disiksa dengan siksaan yang pedih. Seseorang yang memiliki keyakinan tetapi tidak mau mengikrarkan ‘Lailahaillallah’ baik beramal atau tidak, dimasukkan dalam golongan kafir. Ada juga qaul yang memasukkan mereka dalam golongan fasik. Tapi menurut qaul yang lebih kuat, mereka termasuk golongan kafir. Bila meninggal mereka tidak boleh dikuburkan di tanah perkuburan Islam, dan di Akhirat nanti akan kekal tersiksa dalam Neraka. Seseorang yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’, kemudian beramal dengan segala tuntutannya (sedikit atau banyak) tetapi keyakinannya masih diliputi keragu-raguan, digolongkan sebagai orang munafik. Ragu-ragu yang dimaksudkan di sini bukan saja pada Allah, tetapi mungkin pada Rasul, malaikat, kitab, hari Kiamat atau qadha dan qadar. Saya akan memberikan beberapa contoh bagaimana ragu-ragu itu dapat terjadi: Ragu-ragu tentang kerasulan salah seorang dari nabi dan rasul yang wajib diimani. Misalnya ketika mengkaji tentang riwayat hidup Nabi Ayub a.s., kemudian dia ragu-ragu tentang kenabian Nabi Ayub a.s. Bila terjadi seperti itu, walau sebanyak apa pun ucapan ’Lailahaillallah’ dan amalan-amalannya, ia tetap termasuk dalam golongan munafik. Ragu tentang kebenaran salah satu dari ayat-ayat Al Quran. Misalnya di dalam ayat berikut: Terjemahan: Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, akan Allah lepaskan dari kesusahan hidup dan diberi-Nya rezeki dari sumber yang tidak diduga. (At Thalaq: 2-3) Ketika dia membaca ayat tersebut, timbul rasa ragu dalam dirinya. “Bagaimana bisa begitu ?” katanya. “Bukankah rezeki mesti dicari dengan usaha dan ikhtiar, tidak datang sendiri secara tiba-tiba. Mungkin itu bukan ayat Al Quran!” Kalau ada pikiran seperti itu, maka dia termasuk dalam golongan munafik, walaupun mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan amal soleh. Ragu-ragu tentang qadha dan qadar dari Allah. Misalnya suatu hari anaknya meninggal ditabrak mobil. Dengan perasaan sedih dan marah, terlintas di hatinya, “Kalau tidak karena mobil itu, tentu anakku tidak akan mati.” Bila keyakinannya tidak diperbaharui dan tidak bertaubat, maka ia tetap dalam golongan munafik. Contoh-contoh di atas bisa kita kiaskan dalam soal-soal yang lain. Saya ingin mengulang kembali bahwa keragu-raguan itu mungkin dalam bentuk jahil, syak, dzan atau waham. Dan hukum munafik itu akan jatuh pada orang yang ragu-ragu walaupun teIah mengucapkan dua kalimat syahadah. Orang munafik dalam pengertian yang lain adalah orang-orang yang melahirkan suasana Islam tetapi menyembunyikan kekufuran. Artinya mereka berpura-pura Islam pada lahirnya tetapi hati mereka tidak menerima Islam. Orang munafik hakikatnya adalah orang kafir. Bahkan bagi orang Islam, orang munafik lebih berbahaya daripada orang kafir. Orang kafir merupakan musuh yang jelas, sedangkan orang munafik susah untuk dikenal sebab secara lahiriah, mereka tidak ada bedanya dengan orang Islam. Orang munafik dapat kita ibaratkan sebagai musuh dalam selimut atau gunting dalam lipatan. Allah SWT menerangkan ciri-ciri orang munafik dengan firman-Nya: Terjemahan: Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum dan apabila mereka berkata, kamu (tertarik) mendengar perkataan mereka (namun demikian) mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar (yakni tidak memahami kebenaran). Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (Al Munafiqun: 4) Terjemahan: Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. (Al Baqarah: 204) Bahkan di Akhirat nanti Allah akan memberikan siksaan yang pedih pada orang munafik. Firman-Nya: Terjemahan: Kabarkanlah pada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (An Nisa: 138) Terjemahan: Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (An Nisa: 145) Demikianlah Allah akan menghinakan orang-orang munafik lebih hina dari orang kafir, yaitu orang yang tidak pernah mengucap dua kalimat syahadah sama sekali. Mereka yang hatinya sama sekali tidak percaya, walaupun beramal, adalah orang kafir, yaitu kafir sejati. Di Akhirat kelak akan kekal selama-lamanya dalam Neraka. Firman Allah: Terjemahan: Sesungguhnya binatang-binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah adalah orang kafir karena mereka itu tidak beriman. (Al Anfal: 55) Sekarang akan saya terangkan di mana titik tolak atau garis pembatas yang menjadikan seseorang itu beriman atau tidak. Untuk itu kita ikuti apa yang diriwayatkan oleh Sayidina Umar Ibnu Khattab: Terjemahan: Dari Umar Al Khattab r.a. berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di samping Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang lelaki di hadapan kami yang pakaiannya terlalu putih dan rambutnya terlalu hitam, tidak terdapat padanya tanda-tanda orang yang bermusafir tetapi tidak seorang pun dari kami mengenalinya. Dia mendekati Nabi SAW, dengan duduk menyandarkan lututnya bertemu dengan lutut Rasulullah dan kedua tapak tangannya diletakkan ke atas kedua paha Rasulullah. Dan dia terus bertanya, “Wahai Muhammad, kabarkan padaku mengenai Islam.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Islam adalah kamu mengucapkan pengakuan (syahadah): dan kamu dirikan shalat dan kamu keluarkan zakat dan kamu berpuasa (dalam bulan) Ramadhan dan menunaikan haji di Baitullah jika berkemampuan ke sana.”…“Benarlah kamu”. Kata-katanya itu mengherankan kami karena dia yang bertanya dan dia juga yang membenarkannya. Dan seterusnya dia bertanya lagi, “Kabarkan padaku mengenai iman.” Rasulullah bersabda, “Bahwa kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akkirat dan ketentuan baik dan buruknya (qadha dan qadar) dari Allah.” “Benar,” dia mengakuinya dan bertanya lagi, “Kabarkan padaku apa itu ihsan?” Rasulullah berkata “Ihsan adalah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika tidak sesungguhnya Dia senantiasa memperhatikan kamu.” “Benar,” jawab lelaki itu. Tanyanya lagi, “Ceritakan padaku mengenai Hari Kiamat?” Rasulullah menjawab, “Orang yang ditanya mengenainya tidak lebih mengetahui dari orang yang bertanya.” “Kalau begitu terangkan kepadaku tanda-tandanya.” Baginda bersabda, “Ketika hamba-hamba melahirkan tuan-tuannya dan kamu dapat melihat mereka yang berkaki ayam, tidak berpakaian dan melarat bagaikan pengembala kambing berlomba-lomba mendirikan bangunan (mewah).” Kemudian itu dia pun beranjak dan kamipun terdiam tidak berkata apa-apa. Lalu baginda bersabda, “Apakah kamu kenal siapa yang bertanya itu?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Baginda menjelaskan, ”Dialah Jibril, yang datang kepada kamu untuk mengajar kamu mengenai agama.” (Riwayat Muslim) Dari dialog yang terjadi, kita mengerti bahwa batas antara Islam atau tidaknya seseorang adalah pada kalimat Lailahaillallah Muhammadarrasulullah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Dan Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah). Apabila seseorang mengucapkan kalimat tersebut, maka ia menjadi seorang Islam. Tetapi belum bisa dikatakan beriman, walaupun ia mengerjakan shalat puasa, zakat dan haji. Hal itu diberitahukan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: Terjemahan: Orang Arab Badwi itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (pada mereka), “Kamu belum beriman.” Tetapi katakanlah olehmu, “Kami telah tunduk (Islam),” karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Hujurat: 14) Ayat itu Allah wahyukan kepada Rasulullah ketika beberapa orang Arab Badwi datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Kami telah beriman,” hanya karena telah mengucapkan “Lailahaillallah” dan mengerjakan amalan-amalan yang diperintahkan. Dari ayat itu dapat diambil kesimpulan bahwa: Seorang yang Islam belum pasti beriman, tetapi seorang yang beriman sudah pasti Islam. Islam dapat diketahui melalui amalan-amalan lahir, sedangkan iman adalah amalan hati (batin). Lanjutan dari ayat di atas, di surat Al Hujurat ayat 15 Allah menerangkan ciri-ciri iman: Terjemahan: Sesungguhnya orang yang sebenarnya beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Al Hujurat: 15) Untuk menjadi orang yang beriman, ucapan itu mesti dipelajari maksud dan tuntutannya, kemudian dipahami, diyakini (tanpa ragu) serta dihayati untuk diamalkan. Keraguan seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadah baik tentang maksud kalimat itu atau tentang rukun Iman yang lain dapat terjadi dengan empat bentuk: JAHIL – Seseorang yang tidak tahu menahu tentang iman sedikit atau banyak. SYAK – Keyakinan 50%, keraguan 50%. DZAN – Keyakinan 75%, keraguan 25%. WAHAM – Keyakinan 25%, keraguan 75%. Apabila iman seseorang dicampur dengan jahil, syak, dzan atau waham, maka ia belum dapat dikatakan beriman. Sebaliknya, seseorang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan keyakinan yang100%, tanpa diliputi oleh satu dari empat hal tersebut, maka termasuk dalam golongan orang yang beriman.Hanya orang itulah yang sanggup mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan Allah. Mengerjakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang bukanlah satu sikap yang mudah diperoleh. Hal itu hanya mungkin dimiliki oleh seseorang yang memahami dan meyakini kalimat syahadatnya dengan sungguh-sungguh serta menghayati semua tuntutan-tuntutannya untuk dilaksanakan sepenuhnya. Di antara tuntutan kalimat syahadat itu adalah: Mengabdikan diri hanya pada Allah. Amalan-amalan dalam hidup sehari-hari kecil atau besar, penting atau tidak, semuanya dijadikan ibadah pada Allah dengan memenuhi lima syarat sebagai berikut: Niat mesti betul (karena Allah) Pelaksanaan mesti betul (mengikut syariat) Perkara yang dibuat sah menurut Islam. Natijah/hasilnya digunakan pada jalan Allah. Tidak meninggalkan hal-hal asas seperti shalat, puasa dan lain-lain. Tidak ada yang diredhai sebagai Tuhan selain Allah Tidak ada yang ditakuti selain Allah. Tidak ada yang lebih dicintai daripada mencintai Allah. Tidak ada tempat menyerahkan diri selain pada Allah. Apabila tuntutan-tuntutan itu ditunaikan dan dihayati sepenuhnya, barulah menjawab sabda Rasulullah SAW: Terjemahan: Siapa yang mengucapkan Laa ilaha ilallah masuk Syurga. Jaminan Syurga itu akan didapatkan apabila ucapan kalimat syahadah diiringi dengan keyakinan yang kuat, jiwa takwa dan tindakan untuk menunaikan semua tuntutan yang terdapat di dalamnya. Dalam suatu Hadits, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Seseorang yang mengucapkan Laa ilaha ilallah akan memberi manfaat yang besar pada orang banyak kalau dia menunaikan haknya. Sahabat-sahabat bertanya, “Apakah hak kalimat itu, Ya Rasulullah?” Jawab baginda,“Menegakkan Amar Ma’ruf dan nahi Mungkar”. Sesungguhnya kalimat syahadah yang menjadi syarat Islam dan imannya seseorang itu mengandung arti dan maksud yang luas. Tinggi atau rendahnya iman seseorang tergantung pada tingginya keyakinan dan banyaknya tuntutan-tuntutan yang ditunaikan. Kalau keyakinannya tinggi dan tuntutannya banyak yang diamalkan, maka tinggilah tingkat imannya. Sebaliknya kalau keyakinannya kurang, dan tuntutan yang ditunaikan sedikit, maka rendahlah tingkat imannya.
Sumber : Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad Attamimi, “Iman dan Persoalannya”

Tidak ada komentar: