Kamis, 26 Maret 2009

Guru Kehidupan

ust. Rahmat Abdullah (almarhum)

Ada murid dapat belajar hanya dari guru yang ber-SK, disuapi ilmu dan didikte habis-habisan. Ada yang cukup belajar dari katak yang melompat atau angin yang berhembus pelan lalu berubah menjadi badai yang memporakporandakan kota dan desa. Ada yang belajar dari apel yang jatuh disamping bulan yang menggantung di langit tanpa tangkai itu. Ada guru yang banyak berkata tanpa berbuat. Ada yang lebih pandai berbuat daripada berkata. Ada yang memadukan kata dan perbuatan. Yang istimewa diantara mereka, "bila melihatnya engkau langsung ingat Allah, ucapannya akan menambah amalmu dan amalnya membuatmu semakin cinta akhirat (khiyarukum man dzakkarakum billahi ru'yatuh wa zada fi'amalikum mantiquh wa raggahabakum fil akhirati `amaluh)"

Yang tak dapat belajar dari guru alam dan dinamika lingkungannya, sangat tak berpotensi belajar dari guru manusia. Yang tak dapat mengambil ibrah dari pelajaran orang lain, harus mengambilnya dari pengalaman sendiri, dan untuk itu ia harus membayar mahal. Bani Israil bergurukan nabi Musa As, salah satu Ulul Azmi para rasul dengan azam berdosis tinggi. Bahkan leluhur mereka nabi-nabi yang dikirim silih berganti. Apa yang kurang? Ibarat meniup tungku, bila masih ada api di bara, kayu bakar itu akan menyala, tetapi apa yang kau hasilkan dari tumpukan abu dapur tanpa setiitk api, selain kotoran yang memenuhi wajahmu?

Murid-murid Bebal

Berbicara seputar orang-orang degil, berarti menimbun begitu banyak kata seharusnya. Seharunya Bani Israil berjuang sepenuh jiwa dan raga, bukan malah mengatakan: "Hai Musa, kami telah disakiti sebelum engkau datang dan setelah engkau datang," (QS.7:129) karena sesungguhnya mereka tahu ia benar-benar diutus Allah untuk memimpin mereka. Seharusnya mereka tidak mengatakan: "Kami tak akan masuk kesana (Palestina), selama mereka masih ada disana, maka pergilah engkau dengan tuhanmu, biar kami duduk-duduk disini," (QS.5:24) karena berita tenggelamnya Fir'aun di lautan dan selamatnya Bani Israil, adalah energi besar yang mampu meruntuhkan semangat orang-orang Amalek yang m enduduki bumi suci yang dijanjikan itu.

Adapun yang ditenggelamkan itu Fir'aun, mitos sejarah yang tak terbayangkan bisa jatuh. Kemudian seharusnya mereka yang dihukum karena sikap dan ucapan dungu tadi, pasrah saja di padang Tih, dengan jatah catering Manna dan Salwa serta tinggal beratapkan awan pelindung dari sengatan terik matahari. Ternyata mereka mengulangi lagi kedegilan lama mereka. "Hai Musa, kami tak bakalan sabaran dengan jenis makanan monotype, cuma semacam ini, karenanya berdoalah engkau kepada tuhanmu untuk kami, agar ia kelaurkan untuk kami tumbuhan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang puihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya." (QS.2:61)

Betul, manusia memerlukan guru manusia, tetapi apa yang dapat dilihatnya diterik siang di bawah sorotan lampu ribuat watt, bila matanya ditutup rapat? Tarbiyah dzatiyah atau pendidikan mandiri untuk menguasai mata kuliah kehidupan sangat besar perannya. Sebuah bangsa yang sudah "merdeka" 54 tahun, namun tak peduli bagaimana menghemat cadangan energi, tak tahu bagaimana membuang sampah, ringan tangan membakar hutan dan me-WC-kan sungai-sungai kota mereka, tentulah bukan bangsa yang pandai mendidik diri. Sebuah bangsa yang tergopoh-gopoh ikutan kampanye anti AIDS, dengan hanya menekankan aspek seks aman (dunia) saja tanpa mengingat murka Allah, tentulah bangsa itu belum kunjung dewasa. Bila diingat 6 dari 10 anak-anak mereka terancam flek paru-paru, lengkap sudah kebebalan itu.

Nurani yang Selalu Bergetar

Konon, Imam Syafi'ie ra sangat malu dan menyesal bila sampai ada orang mengutarakan hajat kepadanya. "Mestinya aku telah menangkap gejala itu cukup dari kilas wajahnya."

Mereka yang akrab dengan arus batin manusia, mestinya selalu dapat menangkap isyarat muqabalah (oposit) makna ayat 2:273, "Engkau kenal mereka dengan ciri mereka, tak pernah meminta kepada manusia dengan mendesak." Sementara yang bukan "engkau" tak dapat membaca gelagat ini: "Si jahil mengira mereka itu kaya, lantaran mereka berusaha menjaga diri."

Mereka yang berhasil dalam tarbiyah dzatiyah akan tampil sebagai manusia yang jujur, ikhlas dan merdeka. Karenanya, "Hindarilah bergincu dengan ilmu sebagaimana engkau menghindari ujub (kagum diri) dengan amal. Jangan pula engkau meyakini bahwa aspek batin dari adab dapat diruntuhkan oleh sisi zahir dari ilmu. Taatilah Allah dalam menentang manusia dan jangan taati manusia dalam menentang Allah. Jangan simpan sediktipun potensimu dari Allah dan jangan restui suatu amal kepada Allah yang bersumber dari nafsumu. Berdirilah dihadapan-Nya dalam shalatmu secara total." (Almuhasibi, Risalatu'lmustarsyi din).

Akhirnya, semakin jauh perjalanan tarbiyah dzatiyahnya, semakin banyak kekayaan yang diraihnya. Ungkapan berikut ini tidak ada kaitannya dengan bid'ah atau khilafiyah fiqh. Ia lebih mewakili ibrah agar kita tak terjebak pada aktifitas formal atau sebaliknya.

"Pada aspek zahir ada janabah yang menghalangimu masuk rumah-Nya atau membaca kitab-Nya, dan aspek batin juga punya janabah yang menghalangimu memasuki hadhirat keagungan-Nya dan memahami firman-Nya. Itulah ghaflah (kelalaian)" (Ibnu Atha'illah, Taju'l Arus).

Hakikat Kematangan Ilmu

Kembali ke kematangan pribadi dan keberhasilan tarbiyah dzatiyah, seseorang tak diukur berdasarkan kekayaan hafalannya atau keluasan pengetahuannya, tetapi pada kemampuannya memfungsikan bashirahnya:

"Perumpamaan orang yang aktif dalam dunia ilmu namun tak punya bashirah, seperti 100.000 orang buta berjalan dengan kebingungan. Seandainya ada satu saja di tengah mereka yang dapat melihat walau hanya dengan satu mata, niscaya masyarakat hanya mau mengikuti yang satu ini dan meninggalkan yang 100.000".

Rasulullah SAW meredakan kemarahan para sahabat yang sangat tersinggung kepada seorang pemuda yang minta izin kepada beliau untuk tetap bisa berzina. "Engkau rela ibumu dizinai orang?" tanya beliau dengan bijak. "Demi Allah, saya tidak rela!" "Relakah engkau jika anak perempuanmu, saudara perempuanmu dan isterimu dizinai orang?"
"Tidak, demi Allah!"
"Nah, demikianlah masyarakat.. .."

Demikianlah, amtsal merupakan metode pencerahan yang digunakan Al-Qur'an dan Al-Hadist, bahkan dengan kata kunci yang patut dicermati: "....Tak dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu" (29:43). Citarasa yang tinggi dibangun dan sensitifitas dipertajam, mengantarkan manusia kepada puncak pencerahan ruhani mereka. Sebuah ungkapan kedewasaan pun "Semua manusia dari Adam dan Adam dari tanah, tak ada perbedaan antara Arab atas Ajam dan Ajam atas Arab melainkan dngan taqwa." Itulah zaman, saat sejarah tak lagi dimonopoli raja, puteri dan pangeran, tetapi menjadi hak bersama yang melambungkan nama Bilal budak hitam abadi dalam adzan, atau Zaid menjadi satu-satunya nama sahabat dalam Al-Qur'an. Demikianlah kemudian kita kenal Ammar, Sumayyah dan banyak lagi budak yang melampaui prestasi dan prestise para bangsawan.

Padahal 13 abad kemudianpun Eropa masih mempertanyakan perempuan makhluk apa. Dan, para intelektualnya sampai pada kesimpulan "Mereka adalah iblis yang ditampilkan dalam tampilan manusia." Justru Muhammad SAW telah memberi standar "Takkan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan takkan menghinakan mereka kecuali manusia hina". Sementara para perempuannya seperti dilukiskan puteri Sa'id bin Musayyab: "Kami memperlakukan suami seperti kalian memperlakukan para pemimpin, kami ucapkan: "Ashlahakallah, hayyakallah! " (Semoga Allah memperbaiki/ melindungimu, semoga Allah memuliakanmu) ."

Senin, 26 Januari 2009

Dua Racun Hati

Jika ada suatu wilayah dengan sutau system pemerintahan, maka pemimpin tertinggi dari wilayah itu pastilah orang yang memegang kendali system pemerintahan tersebut. Apabila sang pemimpin orang bijak Insya Allah keadaan negaranya aman dan tentram. Jika sebaliknya, rusaklah Negara yang ia pimpin. Pejabat kerajaan dan tentaranya hanya akan menjadi alat perampas harta atas nama Negara. Rakyatnya hanya akan berada dalam dua keadaan, meniru perilaku pemimpin tersebut atau melawannya dengan hasutan, pengkhianatan dan pemberontakan.
Begitu juga kalau pemimpin itu bernama hati. Tubuh adalah wilayah kekuasaannya, seakan anggota tubuh seakan para menteri, punggawa, tentara serta rakyatnya. Jika hati lurus, luruslah keadaan tubuh tersebut. Apabila hati rusak, apa yang diperbuat anggota tubuh hanya akan menuruti kerusakan hati.
Kadang-kadang hati itu sehat dan kadangkala ia sakit. Sakitnya hati di sini tidaklah berarti hati itu mati, karena ketika sebuah hati mati, maka artinya adalah hati itu sudah ditutup dari kebenaran. Dan hanya orang kafirlah yang mempunyai hati mati seperti itu.
Secara umum, sebab penyakit hati hanya ada dua, yaitu syubhat dan syahwat. Yang pertama mengaburkan cara pandang dan daya pikir sehingga yang terserang tidak mampu membedakan kebenaran dan kebatilan. Yang kedua menipu mata hati manusia sehingga pandangannya akan tertuju kepada hal-hal yang menyenangkan dari kenikmatan sesaat dan melupakan kenikmatan akhirat.
Dua penyakit inilah yang selalu digunakan setan untuk menyesatkan manusia. Dengan dua penyakit inilah, setan telah membujuk Nabi Adam dan Hawa, sehingga Allah mengeluarkan keduanya dari surga.
“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dan berkata, ‘Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon kekekalan dan kerajaan yang tidak akan binasa?’(Thaha: 120)
Syubhat
Syubhat secara bahasa mempunyai makna perkara yang samar-samar atau kabur. Ia digunakan ketika ada sesuatu yang sebenarnya haram dianggap halal, ketika ada kebenaran dianggap sebagai kebatilan. Dr. Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nufus menyebutkan bahwa syubhat adalah kesimpulan yang salah yang diakibatkan oleh keracunan hati dan kesalahn cara berfikir. Definisi kedua inilah yang dimaksudkan sebagai penyakit hati jenis yang pertama.
Jika Allah mencela orang-orang munafik, orang-orang yang mempunyai penyakit hati, dan orang-orang yang menyalahi sebagian ajaran agama, maka jenis penyakit yang ada pada mereka adalah penyakit syubhat.
Contohnya adalah firman Allah, “Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah pun menambahkan penyakit itu.” (Al-Baqarah : 10)
Penyakit dalam ayat ini adalah keraguan dan kemunafikan. Ini merupakan syubhat dari setan yang dihembuskan ke hati-hati orang munafik sehingga mereka menganggap bahwa keyakinan mereka dapat memperdayai Allah dan orang-orang yang beriman.
Dengan jauhnya jarak jaman ini dengan masa keemasan nubuwah dan sahabat, semakin maraklah syubahat-syubhat yang tersebar di masyarakat. Contoh sederhana adalah sehubungan dengan firman Allah dalam surat Thaha ayat 14, yang artinya, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Orang-orang yang terkena syubhat akan ngeyel, “Jika tujuan shalat untuk mengingat Allah, tanpa shalat, saya pun sudah senantiasa mengingat Allah. Lalu untuk apa saya melaksanakan shalat?”
Ada juga yang getol menyerukan aktualisasi ajaran Islam sehingga tak hanya pelintar-pelintir ayat dan hadist, menolak ayat dan hadist pun terjadi. Seperti terjadi pada orang yang protes terhadap suatu bagian dalam hal warisan untuk wanita. Menurutnya, sekarang wanita sudah banyak yang bekerja, sehingga seharusnya. Bagiannya juga sama dengan laki-laki.
Syahwat
Syahwat secara bahasa, sebenarnya berarti sesuatu yang diingini. Dalam definisi yang lebih pas, syahwat adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang diinginkan dan kecondongan hati kepada sesuatu yang dicintai.
Sebenarnya syahwat ini sudah menjadi atribut manusia sejak lahir. Tanpa syahwat kepada lawan jenis, tidak akan berlanjutr keturunan anak Adam. Keinginan dasar manusiawi ini akan tercela jika cinta dunia dan panjang angan-angan masuk ke dalamnya.
Dalam Al-Qur’an, apabila konteks kalimatnya mengenai orang-orang yang berbuat maksiat dan mereka yang condong kepadanya, maka jenis penyakitnya adalah penyakit syahwat. Contohnya adalah dalam firman Allah, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. 33:32).
Komplikasi Syahwat dan Syubhat
Jika penyakit badan bisa berkomplikasi, meyerang satu tubuh pada saat yang sama, begitu pula halnya dengan penyakit syubahat dan syahwat. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya, “(Janganlah seperti) orang-orang sebelum kamu; mereka adalah orang-orang yang lebih kuat, lebih banyak harta dan anaknya daripada kamu. Mereka mengambil bagian (dunia) mereka, dan kamu pun mengambil bagian dunia kamu sebagaimana mereka mengambil bagian dunia mereka. Dan kamu pun memperbincangkan (kebatilan) sebagaiamana mereka memperbincangkannya.”
Mengomentari ayat ini, Ibnu Qayyim dalam I’lamul-Muwaqi’in berkata, “Firman Allah, ‘kamu nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang sebelum kamu menikmati bagian mereka’ merupakan isyarat kepada mengkais-kais syahwat yang merupakan penyakit ahli maksiat. Dan firman Allah, ‘dan kamu mempercakapkan kebatilan sebagaimana mereka mempercakapkannya’ merupakan isyarat koreksi terhadap syubhat yang merupakan penyakit ahli bid’ah, ahli ahwa’, dan tukang-tukang debat. Kebanyakan dua hal tersebut selalu bergandengan. Maka jarang kamu dapati seorang yang rusak akidahnya kecuali akan nampak juga kerusakan pada amalnya.”
Obat Dua Penyakit
Rasulullah telah memberi untuk menanggulangi syubhat dan syahwat dalam hadistnya, “Sesungguhnya dunia itu terkutuk, terkutuk juga apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah dan mendekatkan diri kepada-Nya, orang alim dan muta’alim (penuntut ilmu).” (HR. Tirmidzi)
Dzikrullah dan pendekatan diri kepada-Nya merupakan senjata untuk melawan syahwat, sedangkan mempelajari dan mengajarkan ilmu agama dapat menghancurkan syubhat.
Ibnu Qayyim mensarikan obat bagi syubhat dan syahwat dari firman Allah, “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah : 24)
Dalam Risalah Ila Kulli Muslim, beliau berkata, “Allah menggabungkan antara kesabaran dan keyakinan karena keduanya itulah dasar kebahagiaan seorang hamba. Hilangnya keduanya, berarti hilangnya kebahagiaan. Karena hati itu kerap disusupi syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan syubhat yang menyelisihi jalan kebaikan. Dengan kesabaran, syahwat dapat direm, dan dengan keyakinan, syubhat dan kesamaran bisa ditepis.”
Syubhat dan syahwat sudah menjadi senjata abadi musuh manusia, tinggal kita saja yang mau atau tidak mau untuk menuntut ilmu, menyakini, serta mengamalkan ketaatan kepada Allah. Inilah pilihan bagi kita.
Maraji’ :
• - 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Pustaka Firdaus
• - Syubhat dan Syahwat serta Dampak Negatifnya bagi Umat, Abu Ihsan Al-Atsary dalam As-Sunnah 24/II/1418-1997
• - Nasihat Ibnu Qayyim untuk Setiap Muslim, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, At-Tibyan.
Sumber : Majalah Nikah edisi 10/I/2002, hal. 32-33

Sabtu, 03 Januari 2009

Memelihara Cinta Di Hati

Oleh: Prof.Dr. Achmad Mubarok MA


Setiap Manusia memiliki potensi; fisik, intelektual,
emosionil dan spiritual yang berbeda-beda kapasitasnya. Ada orang yang sangat intelek, tetapi
emosinya tidak stabil. Yang lain emosinya sangat terkendali tetapi intelektualitasnya
kurang. Ada
juga orang yang menonjol justeru potensi spiritualitasnya .



Perilaku
manusia dalam keseharian mencerminkan aktualitas dari potensi itu. Ada orang yang berwajah
garang tetapi hatinya lembut, ada orang yang fisiknya kecil dan nampak lemah
tetapi hatinya bergejolak penuh dengan kebencian dan dendam. Demikian juga
halnya dengan corak cinta, ada seorang lelaki yang jika jatuh cinta kepada
seorang wanita, ia merasa harus menguasai dan memonopoli secara total lahir
batin, tidak boleh sedikitpun si wanita memiliki perhatian kepada selain
dirinya.



Ia sangat pecemburu, dan jika ia gagal “memiliki” wanita
yang dicintainya itu maka ia memilih “menghancurkan” sang kekasih daripada
harus melihat ia dimiliki oleh orang lain. Di sisi lain, ada seorang lelaki
pecinta yang sangat penuh pengertian, ia sangat memaklumi dan sangat memaafkan
atas kekurangan sang kekasih. Ia bukan saja tidak bermaksud “menguasai” tetapi
justeru selalu ingin memberi kepada kekasihnya apa yang menjadi keinginannya,.



Ia sangat berbahagia jika bisa memberikan kesenangan
kepada kekasihnya, meski untuk itu ia menderita. Nah cinta itu ada di dalam hati. Hadis Nabi menyebutkan bahwa di dalam tubuh
setiap manusia ada qalbu (hati) yang menjadi penentu kualitas manusia, jika
qalbu nya baik maka seluruh ekpressinya baik, sebaliknya jika qalbu nya buruk
maka buruk pula ekpressi orang itu.
Orang suka berkata; dalamnya laut dapat di duga, dalamnya hati siapa
yang tahu ?. Isi hati manusia sungguh sangat sangat banyak dan beragam, diantaranaya adalah cinta. Dapat dipastikan bahwa tidak ada satupun keterangan yang obyektip tentang hati
manusia yang berasal dari manusia, karena semua manusia bersifat subyektip,
oleh karena itu keterangan yang paling obyektip tentang hati manusia hanya yang
berasal dari sang Pencipta hati itu sendiri, yaitu Alloh.

Tujuan Hidup manusia

Oleh: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA



tujuan hidup manusia adalah untuk menggapai ridla Alloh,
ibtigha¢a mardlatillah. Jadi apapun boleh yang penting diridlai Alloh. Apalah
artinya pangkat tinggi dan gaji besar jika tidak diridlai oleh Nya. Ridla
artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan, terpulan g kepada
apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau
diridlai Alloh atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridla Nya, maka apapun
yang diberikan Alloh kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridla (senang)
pula, ridla dan dirdlai, radliyatan mardliyyah.



Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu itu
diridlai atau tidak oleh Alloh. Tolok ukur pertama adalah syari¢at atau aturan
agama. Sesuatu yang diharamkan Alloh pasti tidak diridlai, dan sesuatu yang
dihalalkan pasti diridlai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya
nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya,
memberi kepada orang yang meminta karena kebuAlloh adalah sesuatu yang
diridlai, tidak memberi tidaklah berdosa tetapi kurang disukai. Nah memberi
sebelum orang yang memiliki kebuAlloh itu meminta bantuan adalah perbuatan yang
sangat diridlai Alloh. Timbulnya perasaan ridla didasari oleh tingkat
pengenalan kepada orang. Memperoleh pemberian adalah sesuatu yang menyenangkan,
tetapi memperoleh pemberian dari orang yang kita sayangi dan kita tahu diapun
menyayangi kita pastilah lebih menyenangkan. Orang yang mengenal (ma`rifat)
kepada Alloh akan merasa ridla atas apapun yang dianugerahkan Alloh kepadanya,
selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika
orang merasa hidupnya diridlai Alloh maka iapun merasa dirinya bermakna, dan
dengan merasa bermakna itu ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika
seseorang merasa hidupnya tak diridlai Alloh, maka ia merasa semua yang
dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna. Orang yang merasa kehadirannya berguna
bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja,
semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah. Sedangkan
orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup,
tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi
lagi dalam kesendirian.



Indikator ridla Alloh
juga dapat dilihat dari dimensi horizontal. Nabi bersabda bahwa ridla Alloh ada
bersama ridla kedua orang tua, dan murka Alloh ada bersama murka kedua orang
tua. Jika ayah ibu ridla, maka Allohpun
meridlainya, jika ayah ibu murka, Allohpun murka pula



Semangat mencari
ridla Alloh sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman,
sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Alloh, tidak mengenal agama, maka
boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan
perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati
pandangan hidup orang beragama minus Alloh, karena toh setiap manusia memiliki
akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.



Metode mengetahui
ridla Alloh juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,
istafti qalbaka. Mengapa dengan hati ?, orang bisa berdusta kepada orang lain,
tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda.
Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati
juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat
adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal
dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni cahaya keAllohan yang
ditempatkan Alloh di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuyhulloh fi al qalb. Jika
hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap
kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung
dengan ridla Alloh. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup
oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.