Selasa, 03 Juni 2008

MABUK DALAM CINTA TERHADAP ALLAH

Dikisahkan dalam sebuah kitab karangan Imam Al-Ghazali bahawa pada suatu hari Nabi Isa a.s berjalan di hadapan seorang pemuda yang sedang menyiram air di kebun. Bila pemuda yang sedang menyiram air itu melihat kepada Nabi Isa a.s berada di hadapannya maka dia pun berkata, "Wahai Nabi Isa a.s, kamu mintalah dari Tuhanmu agar Dia memberi kepadaku seberat semut Jarrah cintaku kepada-Nya."
Berkata Nabi Isa a.s, "Wahai saudaraku, kamu tidak akan terdaya untuk seberat Jarrah itu."
Berkata pemuda itu lagi, "Wahai Isa a.s, kalau aku tidak terdaya untuk satu Jarrah, maka kamu mintalah untukku setengah berat Jarrah."
Oleh kerana keinginan pemuda itu untuk mendapatkan kecintaannya kepada Allah, maka Nabi Isa a.s pun berdoa, "Ya Tuhanku, berikanlah dia setengah berat Jarrah cintanya kepada-Mu." Setelah Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun berlalu dari situ.
Selang beberapa lama Nabi Isa a.s datang lagi ke tempat pemuda yang memintanya berdoa, tetapi Nabi Isa a.s tidak dapat berjumpa dengan pemuda itu. Maka Nabi Isa a.s pun bertanya kepada orang yang lalu-lalang di tempat tersebut, dan berkata kepada salah seorang yang berada di situ bahawa pemuda itu telah gila dan kini berada di atas gunung.
Setelah Nabi Isa a.s mendengat penjelasan orang-orang itu maka beliau pun berdoa kepada Allah S.W.T, "Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku tentang pemuda itu." Selesai sahaja Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun dapat melihat pemuda itu yang berada di antara gunung-ganang dan sedang duduk di atas sebuah batu besar, matanya memandang ke langit.
Nabi Isa a.s pun menghampiri pemuda itu dengan memberi salam, tetapi pemuda itu tidak menjawab salam Nabi Isa a.s, lalu Nabi Isa berkata, "Aku ini Isa a.s."Kemudian Allah S.W.T menurunkan wahyu yang berbunyi, "Wahai Isa, bagaimana dia dapat mendengar perbicaraan manusia, sebab dalam hatinya itu terdapat kadar setengah berat Jarrah cintanya kepada-Ku. Demi Keagungan dan Keluhuran-Ku, kalau engkau memotongnya dengan gergaji sekalipun tentu dia tidak mengetahuinya."
Barangsiapa yang mengakui tiga perkara tetapi tidak menyucikan diri dari tiga perkara yang lain maka dia adalah orang yang tertipu.

1. Orang yang mengaku kemanisan berzikir kepada Allah, tetapi dia mencintai dunia.
2. Orang yang mengaku cinta ikhlas di dalam beramal, tetapi dia inginmendapat sanjungan dari manusia.
3. Orang yang mengaku cinta kepada Tuhan yang menciptakannya, tetapi tidak berani merendahkan dirinya.
Rasulullah S.A.W telah bersabda, "Akan datang waktunya umatku akan mencintai lima lupa kepada yang lima :
1. Mereka cinta kepada dunia. Tetapi mereka lupa kepada akhirat.
2. Mereka cinta kepada harta benda. Tetapi mereka lupa kepada hisab.
3. Mereka cinta kepada makhluk. Tetapi mereka lupa kepada al-Khaliq.
4. Mereka cinta kepada dosa. Tetapi mereka lupa untuk bertaubat.
5. Mereka cinta kepada gedung-gedung mewah. Tetapi mereka lupa kepada kubur."
Kubur Setiap Hari Menyeru Manusia Sebanyak 5 Kali
1. Aku rumah yang terpencil, maka akan senang dgn selalu membaca Al-Quran.
2. Aku rumah yg gelap, maka terangilah aku dgn selalu sembahyang malam.
3. Aku rumah penuh tanah dan debu, bawalah amal soleh yg menjadi hamparan.
4. Aku rumah ular berbisa, maka bawalah amalan Bismillah sebagai penawar.
5. Aku rumah pertanyaan Munkar dan Nankir, maka banyaklah bacaan "Laa illallah, Muhammadur Rasulullah" supaya kamu dapat jawapan kepadanya.

Merindukan Shalat

Menjelang shubuh, Khalifah Umar bin Khathab berkeliling kota
membangunkan kaum Muslimin untuk shalat shubuh. Ketika waktu shalat
tiba, dia sendiri yang mengatur shaf-shaf shalat dan mengimami para
jamaah.

Pada shubuh itu tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah
mengucapkan takbiratul ikhram, tiba-tiba seorang lelaki bernama Abu
Lu'luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar
beliau. Darahpun menyembur. Namun, Khalifah yang berjuluk "Singa
Padang Pasir" ini tidak bergeming dari kekhusyukannya memimpin shalat.

Padahal waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum
terbitnya matahari. Sekuat apa pun Umar, akhirnya ia ambruk juga.
Walau demikian, beliau masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin 'Auf
untuk menggantikannya sebagai imam.

Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih
berganti mendatangi Khalifah Umar bin Khathab. Para sahabat yang
mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah. Salah
seorang di antara mereka berkata, "Kalau beliau masih hidup, tidak ada
yang bisa menyadarkannya selain kata-kata shalat!" Lalu yang hadir
serentak berkata, "Shalat wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir
dilaksanakan."

Beliau langsung tersadar, "Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah.
Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat." Maka
beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran. Subhanallah!

Kisah ini diambil dari buku Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju
Allah SWT karya Dr Quraish Shihab (Lentera Hati, 2002). Ada teladan
menarik yang diperlihatkan Umar bin Khathab dalam kisah ini, yaitu
kecintaan dan perhatian beliau terhadap shalat.

Baginya, tiada yang terindah dalam hidup selain menghadap Allah SWT.
Dunia begitu kecil di hadapannya. Kenikmatan berkomunikasi dengan Dzat
yang Maha Mencinta, mampu mengalahkan sakitnya tusukan pisau yang
tajam. Tak heran bila demi sekali shalat (di masjid dan berjamaah),
Umar pun rela menukarnya dengan harta yang ia miliki.

Ada sebuah kisah berkait dengan hal ini. Suatu hari Umar mengunjungi
kebunnya. Ia begitu menikmati kicauan burung yang beterbangan di
antara pepohonan. Saking asiknya, ia harus ketinggalan rakaat pertama
saat berjamaah di masjid. Umar begitu menyesal, hingga ia menghibahkan
kebun yang telah melalaikannya tersebut pada baitul mal milik negara.

Anugerah Allah dalam shalat
Shalat adalah keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah
SAW dan umatnya. Demikian istimewanya, hingga proses turunnya perintah
shalat diawali dengan peristiwa Isra' Mi'raj. Allah SWT langsung
"mengundang" Rasulullah SAW ke langit.

Nilai strategis dan keistimewaan shalat sudah tidak terbantahkan lagi.
Shalat adalah amalan pertama yang diwajibkan atas Rasulullah SAW.
Shalat adalah tiang yang menyangga bangunan Islam. Shalat adalah
pembeda atau pemisah antara seorang Muslim dan kafir. Shalat adalah
amalan yang pertama kali dihisab. Shalat adalah kunci kesuksesan dan
kebahagiaan hidup. Shalat adalah penggugur dosa-dosa. Shalat adalah
kunci kesuksesan seorang hamba. Shalat adalah sarana pengundang
datangnya pertolongan Allah. Shalat pun menjadi saat istimewa bagi
seorang hamba, karena ia bisa berhadapan langsung dengan Rabb-nya.

Penelitian ilmiah pun menunjukkan bahwa shalat memiliki segudang
manfaat dari sudut kesehatan. Termasuk kemampuannya untuk mengurangi
stres dan kecemasan, juga menangkal datangnya penyakit-penyakit fisik,
selain tentunya menangkal penyakit rohani.

Saat seorang hamba menunaikan shalat, dan shalatnya dilakukan dengan
khusyuk dan tuma'ninah, ia pun berpeluang mendapatkan pengalaman
rohani tertinggi (peak experience) dan bangkitnya kesadaran yang lebih
tinggi (altered states of conciousness). Tidak berlebihan bila shalat
dikatakan sebagai mi'raj-nya orang beriman.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan (yang hak) selain Aku; maka sembahlah Aku dan dirikan shalat
untuk mengingatku." (QS Thaha [20]: 14)

Melihat kenyataan ini, seharusnya kita memaknai shalat bukan sebagai
beban, tapi sebagai kebutuhan. Layaknya kita membutuhkan air, udara,
atau makanan, seperti itulah shalat dibutuhkan.

Shalat tepat waktu adalah keutamaan yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Tanda bahwa seseorang telah menjadikan shalat sebagai kebutuhan adalah
keistikamahannya dalam memburu shalat secara ontime. Keutamaannya akan
berlipat apabila dilakukan di masjid dan berjamaah. Keutamaan ini akan
berlipat lagi tatkala kita mempersiapkan diri sebelum melaksanakannya
dengan menunggu sebelum adzan berkumandang.

Mengapa menunggu shalat menjadi sebuah keutamaan? Ada empat alasan.
Pertama, menunggu shalat adalah bukti kecintaan seorang hamba kepada
Tuhannya. Sebagai analogi, seseorang yang sedang dimabuk cinta akan
senantiasa merindukan perjumpaan dengan yang dicintainya. Tatkala ada
janji bertemu, ia akan berusaha untuk tidak terlambat. Begitu pula
saat kita merindukan Allah, kita akan selalu menunggu berjumpa
dengan-Nya dan akan selalu menunggu perjumpaan itu.

Kedua, menunggu waktu shalat akan membuka kesempatan bagi kita untuk
melakukan banyak kebaikan lainnya, seperti membaca Alquran, i'tikaf,
berdzikir, membereskan tempat shalat, dan lainnya. Satu kebaikan
biasanya akan mengundang kebaikan lainnya. Ketiga, saat menunggu
shalat kemungkinan bermaksiat menjadi sangat kecil. Keempat, saat
menunggu shalat kita akan berusaha menjaga kebersihan diri dan hati.
Bukankah salah satu syarat sahnya shalat adalah bersih badan dan
tempat shalat dari najis?

Karena itu, Rasulullah SAW menjanjikan bahwa seseorang dikategorikan
sedang shalat, tatkala ia meniatkan diri menunggu datangnya waktu
shalat. Bahkan, saat itu para malaikat terus melantunkan doa agar kita
dirahmati Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya salah
seorang di antara kalian (terhitung) di dalam shalat selama tertahan
oleh shalat sedang para malaikat mendoakan mereka: 'Ya Allah,
ampunilah dia; ya Allah rahmati dia, selama dia tidak berdiri dari
tempat shalatnya atau ber-hadats (batal wudhunya)." (HR Bukhari).

Hadis ini akan lebih aplikatif dan bernilai sosial andai tengat waktu
menunggu tersebut makna dan cakupannya diperluas. Pemaknaannya tidak
sekadar menunggu shalat di masjid, tapi menempatkan semua aktivitas
hidup dalam skup menunggu datangnya waktu shalat. Hidup kita,
hakikatnya, adalah perpindahan dari satu shalat ke shalat lainnya.

Alangkah indahnya bila kita mampu mengubah paradigma berpikir bahwa
kerja kita, sekolah kita, tidur kita, rekreasi kita; pendeknya semua
aktivitas hidup kita, adalah "aktivitas sampingan" dari shalat. Bila
paradigma berpikir ini digunakan, maka tak akan sekali pun kita
melalaikan kumandang adzan, karena itulah kerja utama kita.

Yang tak kalah penting, semua aktivitas kita di luar ritual shalat,
insya Allah akan makin berkualitas karena dilandasi nilai dzikir,
nilai amal ma'ruf nahyi munkar, dan keinginan menjaga kebersihan diri.
Boleh jadi, semua aktivitas kita akan bernilai shalat, karena kita
meniatkannya sebagai aktivitas menanti perjumpaan dengan Allah SWT.
Dan itulah yang telah dilakukan Rasulullah SAW, Khalifah Umar bin
Khathab, dan para sahabat lainnya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Kisah Sedih Pencuci Piring

Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung? Bisa
jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski
lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhir pun.
Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini.
Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban
terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya
membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan.
Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah,
ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. "Aih, pasti
segagah kakeknya," impinya.

Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura
kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak
hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan
kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan
ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa
berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua
mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak
direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak
ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu
lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus,
inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop
yang tertutup rapat.

Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta
itu kecuali air mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang
sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang
sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar
kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka
meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang
baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa
menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami
dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi
milik pria lain.

Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya
mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang
pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus
sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh
ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak
cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.

Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih
di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak
mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari
keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang
dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan
terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta.
Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di
ruang pesta.

Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh
berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya
karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari
sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena
tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan
pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin
lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang
teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis
disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan
tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk
kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah
sering harus menahan lapar hingga terlelap.

Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya
menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati
nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa
masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk
anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai
pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak
yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan
dalam pesta itu.

Sekadar usul untuk Anda yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak
cukup kalimat "Mohon Doa Restu" dan "Selamat Menikmati" yang tertera
di dinding pesta, tapi sertakan juga tulisan yang cukup besar "Terima
Kasih untuk Tidak Mubazir". Mungkinkah?

Bayu Gawtama

Kalimat Menunjukkan Hati

Setiap kalimat yang keluar pasti menunjukkan isi hati orang yang menuturkannya.
Lisan adalah penerjemah kata hati. Jikalau hati itu bersih dari kotoran, suci dari kehidupan duniawi, dan memancar darinya cahaya, maka tutur kata dan percakapannya sesuai dengan kata hatinya. Percakapan yang disampaikannya mengeluarkan cahaya yang memancar masuk kedalam telinga orang yang mendengarkan nasihat dan seruannya. Hati orang yang mendengar menjadi tersentuh, dan terbukalah hati nurani mereka untuk mencintai seruan Allah SWT yang menjadi kekasih mereka.

Oleh karena setiap kalimat yang diucapkan oleh seorang Daâ'i keluar dari hatinya sendiri dengan hidayah dari Allah, maka yang mendengarnya dengan hidayah Allah pula menerima dengan hati nuraninya. Manusia ketika mendengar nasihat dan tutur kata seseorang tidak semata-mata menginginkan ilmu yang akan disampaikan, akan tetapi lebih dari sekedar ilmu, yakni sentuhan dan getaran nurani yang mampu menggerakkan dan menyadarkan jiwa, prilaku, dan pikiran manusia.

Kedudukan seorang Daâ'i yang mendalam ilmunya, dan tinggi makrifatnya didalam masyarakat diperlukan bagi pembinaan jasmani dan ruhani umat yang mursyid dan arif, mereka (para Da’i) akan mempercepat masuknya sinar Islam kedalam ruhnya umat dengan percikan sinar dari tutur katanya yang langsung menembus hati nurani pendengarannya.

Orang mendengar ucapan melalui hidayah Allah yang disampaikan kepada umat . Karena tutur kata yang dikeluarkan oleh hati juga. Sebaliknya, ucapan yang disampaikan bukan dari cahaya hati, maka ucapan seperti itu akan sampai ditelinga belaka. Diterima oleh telinga kanan dan dikeluarkan melalui telinga kiri, tidak mengendap masuk kedalam hati. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Wasi E ketika ia ditanya, “Mengapa ucapan orang banyak yang tidak dirasakan oleh kalbu umat, dan tidak juga mencucurkan air mata? Maka ia menjawab, “Mungkin ucapan yang keluar, hanya dari kerongkongan dan hanyalah dari mulut saja, tidak keluar dari nurani dan tidak tulus. ESebab, apabila tutur kata kita hanya sekedar daya pikir dan imajinasi belaka, maka itu tetap menjadi susunan kata belaka, tidak memberi makna bagi jiwa dan tidak menyentuh hati. Ibarat kalimat yang gersang pula.

Seluruh ucapan seorang Da’i hendaklah ditimbang dan dimasak dengan rencana yang teratur, akan tetapi jangan lupa selalu memohon hidayah dan inayah Allah. Sebelum mengadakan pendekatan dengan manusia, dekatilah terlebih dahulu Allah SWT. Retorika saja tidak mampu mengangkat suara yang kita ucapkan untuk menggugah umat. Metode saja tidak mampu menembus kebekuan hati umat. Metode saja tidak mampu menembus kebekuan hati umat dan membuka pintu-pintu harapan untuk mereka.

Jiwa manusia tidak hanya memerlukan seruan dan gerakan, tetapi diperlukan pula sentuhan jiwa dengan jiwa, hati dengan hati, dan semua itu hanya diperoleh dengan hidayah Allah belaka. (Innal Huda Hudallah) sesungguhnya petunjuk itu adalah petunjuk Allah belaka.

Syaikh Atailah mengingatkan pula: “Siapa yang telah diizinkan Allah untuk menyampaikan ajaran, maka semua ucapannya mudah dipahami oleh orang yang mendengar. Dipahami ibarat-ibaratnya dan dirasakan isyarat-isyaratnya.
Berbicara untuk menyampaikan dakwah agama Allah, tidak berbekal ilmu agama saja. Atau kepandaian menggunakan dalil dan argumentasi, atau kefasihan mengucapkan ayat dan hadits saja. Seperti sudah diterangkan sebelum ini hidayah dan izin Allah diperlukan agar hati sanubari dan lidah serta tutur kata seorang Da’i atau Mubaligh diberkati oleh Allah. Seorang Mubaligh harus bersungguh-sungguh mendapatkan sinar Allah itu, agar ketika ia mengajar dan mengajak dapat mudah memancar masuk kedalam hati sanubari umat.

Izin Allah itu penting bagi para Da’i dalam menyampaikan ajaran Islam. Selain mendekat kepada Allah dengan kesungguhan jiwa raga, maka tabligh memerlukan pula kecakapan dan keterampilan menyajikan pelajaran. Tentu saja perolehannya dari ketekunannya sang mubaligh mempelajari syariat dan akidah Islam dengan baik, sehingga apa yang disampaikan benar-benar sahih.

Perpaduan cahaya Allah dan izin-Nya, dengan ilmu-ilmu Islam yang dalam dan mumpuni, diikuti dengan keterampilan dan kecakapan menyajikan, akan mempercepat dan mempermudah masuknya cahaya Allah ke dalam jiwa dan hati sanubari umat.

Para Hukama mengingatkan, “Berbicaralah dan sampaikanlah ajaran Islam itu dengan sinar Allah yang terpatri dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi SAW. Dengan pancaran sinar Ilahi dari hati sanubari sang Da’i yang dipantulkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka pembicaraan akan tetap dalam mardatillah untuk mendapat Izzul Islam wal Muslimin. Hindarilah pembicaraan dan penyampaian kesucian Islam dengan ambisi pribadi yang semata-mata mencari keridhaan insani.

Allah Ta’ala mengingatkan para Da’i ketika mereka menyampaikan tabligh, seperti isyarat dalam surat An-Naba Eayat 38, “Mereka tidak bertutur kata (menyampaikan), kecuali karena izin Allah yang Maha Pemurah, dengan ucapan-ucapan yang benar. E
Izin Allah bagi manusia yang menyampaikan seruan Islam, sesuai dengan kedudukan Islam sebagai wahyu Allah untuk menjadi pedoman hidup manusia, dunia dan akhirat. Terutama ilmu yang berkaitan dengan hakikat hidup manusia, (hakikat hidup didunia dan hakikat hidup di akhirat).

Syaikh Atailah mengingatkan kembali hal ini: “Sering terjadi ilmu hakikat itu nampak pudar cahayanya, apabila Allah Ta’ala belum mengizinkan untuk melahirkan (menyampaikan). E
Memang ilmu hakikat itu, tidak setiap orang dapat mempelajari apalagi menyampaikan. Ilmu hakikat adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan rahasia ketuhanan (akidah Islam). Walaupun seorang hamba telah mempelajari dengan mendalam, akan tetapi belum mampu ia mengamalkannya, maka ia belum boleh mengajarkannya. Sebab kaitannya yang erat dengan sifat-sifat Allah yang sempurna dan suci. Cahaya ilmu hakikat didalam pikiran orang-orang yang belum memahami dan belum mengamalkannya, masih nampak pudar cahayanya, masih samar-samar kematangannya, sehingga belum sempurna diajarkan kepada umat.

Ilmu hakikat itu adalah ilmu tua, Sangat berkaitan erat dengan usia seorang hamba. Makin tinggi usia seseorang, makin matang ia menerima dan menyampaikan ilmu hakikat ini. Kematangan berpikir pada usia lanjut yang produktif sangat berbobot ketika menyampaikan ajaran Islam yang berhubungan dengan hakikat. Sebab, pengalaman rohani seseorang Da’i sangat berarti bagi umat ketika mendapat penjelasan hakikat ke-Tuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi hakikat Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW ., bagaimanapun sulitnya memahami dan menjelaskan hakikat atau ilmu hakikat itu, dia tetap megacu kepada sumbernya yang asli, sehingga tdak sulit dicari asal dan dasarnya, bagi orang awam dan bagi mereka yang ingin memperdalam dengan murni ilmu hakikat yang sebenarnya.

Hukama Emengatakan, “Orang harus terlebih dahulu memenuhi dirinya dengan makrifat. Dengan demikian barulah memahami ilmu hakikat, dan akan nampak lebih jelas baginya. Para Waliyullah selalu memperdalam makrifatnya dan setelah itu barulah ia melangkah kepada hakikat.

Selanjutnya Syaikh Atailah menggambarkan, “Ibarat-ibarat yang mereka sampaikan atau ajarkan, ada kalanya disampaikan karena luapan perasaan dari dalam hati nurani, atau bertujuan untuk memberi petunjuk bagi murid. Yang pertama untuk orang yang sedang menempuh pelajaran, kedua untuk orang yang telah matang benar ilmu hakikatnya. E
Disampaikan dengan luapan perasaan, maksudnya ialah dengan kesungguhan dan keyakinan akan ilmu yang dimilikinya yang berasal dari sumber Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ucapan yang tidak keluar dari luapan perasaan, sulit diterima oleh perasaan dan hati nurani umat. Demikian juga orang yang telah memperoleh ilmu hakikat hendaklah menyampaikan ajaran Islam itu dengan niat untuk memberi petunjuk dan hidayah Allah dan Ittiba Ekepada Nabi SAW.

Untuk sampai kepada hakikat, manusia secara bertahap hendaklah mempelajari dengan seksama hukum syariat. Sebelum mencapai makrifat, manusia harus melaui jalan tariqat, dari makrifat inilah kemudian mendaki kepada hakikat.

Ilmu yang berkaitan dengan syariat, tariqat, makrifat dan hakikat, tercantum dalam sumber aslinya yaitu AL-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Untuk mengetahui dan memahami dua sumber ini para murid atau orang yang sedang mendalami Islam paling tidak menguasai ilmu alat yang akan memberi petunjuk memahami sumber ilmu yang dimaksud.

Untuk tidak mengacaukan pikiran manusia, hendaklah ia memepelajari Al-Qur’an dan Hadits, sebagai ilmu Islam dari guru-guru atau Syaikh yang mursyid (mumpuni).[]

die *Mutu Manikan dari Kitab Al-Hikam*
Syaikh Ahmad Atailah