Rabu, 27 Oktober 2010

Membeli Kebun di Surga

oleh Dadi M. Hasan Basri



Suatu ketika, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bersedekah, di surga nanti, ia akan memiliki seperti yang ia sedekahkan.”

Abu Dahdah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, aku
memiliki dua kebun. Apabila salah satunya kusedekahkan, apakah kelak
aku akan memiliki kebun seperti itu di surga?’

Rasulullah SAW menjawab, “Benar.”

Abu Dahdah kembali bertanya, “Apakah istri (Ummu Dahdah) dan anak-anakku juga akan bersamaku di surga?”


Rasulullah SAW menjawab, “Benar.”

Abu Dahdah pun membulatkan tekadnya untuk menyedekahkan kebunnya
yang terbaik.
Sesampainya di kebun itu, ia berjumpa dengan istri dan
anak-anaknya. Ia pun menegaskan kepada mereka, “Aku akan menyedekahkan
kebun ini. Dengan begitu, aku membeli kebun seperti ini di surga.
Adapun engkau, istriku, akan bersamaku dan seluruh anak kita.”

Tiba-tiba saja meneteslah air mata bahagia dari kedua pelupuk mata istrinya yang beriman itu.

Istri Abu Dahdah lalu berkata, “Semoga yang engkau jual dan beli diberkati Allah SWT, wahai suamiku.”

Istri Abu Dahdah kemudian segera memanggil anak-anaknya dan
meninggalkan kebun itu karena sudah bukan milik mereka lagi. Akhirnya,
kebun itu menjadi milik umat Islam yang miskin.

Kisah diatas dikutip oleh al-Kalbi dalam tafsirnya saat menjelaskan surah al-Baqarah ayat 245,

“Barangsiapa
meminjami Allah dengan pinjamannya yang baik maka Allah melipatgandakan
ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki)
dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib. Kisah ini
mengingatkan kita bahwa apa yang tengah kita genggam sekarang ini, apa
yang kita miliki kini, pada hakikatnya tidaklah memiliki arti apa-apa
bila tidak kita infakkan, bila tidak kita sedekahkan di jalan Allah.

Harta yang diperhitungkan oleh Allah untuk diberi balasan kenikmatan
surga bukanlah harta yang kita peroleh kemudian kita simpan, melainkan
harta yang kita peroleh dengan jalan yang halal kemudian kita infakkan
(nafkahkan) dan kita sedekahkan.

Abu Dahda, seorang sahabat Nabi, ketika mendengar bahwa sedekah yang
kita berikan akan diganti oleh Allah dengan ganti yang setimpal, bahkan
lebih, dengan segera menginfakkan salah satu dari dua kebunnya, bahkan
kebunnya yang terbaik. Ia berharap
Allah akan menggantinya dengan kebun
serupa di surga kelak.

Kisah ini dapat kita jadikan bahan renungan dan cerminan, apakah
sudah seperti itu upaya kita untuk mendapatkan hal yang sepadan di
akhirat kelak dengan apa yang kita infakkan di dunia ini. Apakah infak
dan sedekah yang kita keluarkan hanyalah serpihan-serpihan kecil atau
remah-remah dari harta kita yang tidak berarti dan tidak kita
perhitungkan?

Seorang teman pernah berseloroh, “Bila Anda merasa berat sewaktu
berinfak dengan sepuluh ribu rupiah, tetapi merasa ringan sewaktu
berinfak dengan seribu rupiah, seukuran itu pulalah kualitas Anda.
Semakin ringan Anda mengeluarkan infak dalam jumlah yang semakin besar
dalam kemampuan Anda, sebesar itu pulalah kualitas Anda.”

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman,“Berikan hartamu maka Aku akan memberi kepadamu.” (HR Bukhari dan Muslim)


Karena itu, jangan ragu-ragu untuk berinfak dan bersedekah. Biarkanlah
diri Anda memberi. Bila Anda melakukannya dengan ikhlas dan kerendahan
hati, banyak berkah Ilahi yang mengalir kepada Anda.

Tujuh manfaat bersedekah:

1. membebaskan dari kesulitan,

2. menyembuhkan penyakit,

3. memelihara harta benda,

4. meredakan murka Allah,

5. menarik cinta kasih manusia,

6. membuat hati yang keras menjadi lembut, dan

7. menambah keberkahan usia.

Dalam sebuah pepatah dikatakan, “Sebaik-baik harta adalah yang kamu
infakkan (sedekahkan) dan sebaik-baik ilmu adalah yang memberimu guna.”

Selasa, 26 Oktober 2010

Kepada Siapa Hati Kita Bergantung?

Penulis : Al Ustadz Ayub Abu Ayub

“Mbah, permisi ya!” Kata-kata ini atau yang semakna ini acap kali terdengar
ketika seseorang menginjakkan kakinya di wilayah yang kelihatannya jarang
dikunjungi oleh makhluk yang bernama manusia. Atau sebagai kata-kata yang sering
dilontarkan ketika melewati sebuah jalan tertentu yang diyakini seandainya
mereka yang lewat tidak mengucapkannya maka sangat dikhawatirkan malapetaka akan
menimpanya.

Ritual penyembelihan ayam hitam juga kerap dilakukan dalam rangka menolak bala.
Tempat yang sering terjadi musibah di situ mesti dicucuri darah ayam hitam ini.
Tentu saja dengan keyakinan dan harapan angka kecelakaan bisa hilang atau
diminimalisir. Begitu juga upacara-upacara yang mempersembahkan sesajen-sesajen
lengkap dengan kepala kerbaunya kepada para “penguasa” alam ini. Mulai dari
“penguasa” hutan, gunung, laut, kampung, dusun, kota, hingga kepada “penguasa”
jalan. Jimat-jimat, rajah-rajah dan berbagai macam bentuk simbol keberuntungan
juga banyak menghiasai rumah, toko, pabrik, kantor, tubuh, dan lain sebagainya,
seraya berharap keberuntungan selalu mendampingi usaha mereka.

Tak bisa diingkari lagi bahwa fenomena ini memang terjadi di tengah-tengah kita.
Bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit. Seseorang yang paling berpendidikan
sekalipun kadang tak luput dari hal-hal yang demikian. Mereka yang terdidik
untuk berpikir secara rasional ternyata kerasionalan itu hilang begitu saja
ketika berhadapan dengan hal yang demikian. Kenapa ini bisa terjadi?

Ini terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati terhadap hal-hal
yang diyakini tersebut. Ketika seseorang permisi -untuk melalui suatu jalan atau
mendatangi suatu tempat asing- kepada yang dianggap berkuasa di tempat itu maka
sesungguhnya itu terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati orang
tersebut dengan sesuatu tadi. Dengan adanya ketergantungan dan keterkaitan hati
ini dia berkeyakinan bahwa sesuatu itu akan melindungi dia. Dia sandarkan
nasibnya kepada sesuatu tersebut. Inilah yang terjadi. Lalu bagaimana Islam
menghukumi terhadap hal-hal yang demikian?

Islam mengajarkan agar seseorang hanya menggantungkan dan mengaitkan hatinya
kepada ALLAH semata. ALLAH-lah yang telah menciptakannya. ALLAH jua yang
mengarunainya rezeki. ALLAH yang mengatur alam ini. ALLAH yang menguasai jagat
raya ini. ALLAH yang berkuasa atas segala sesuatu. ALLAH yang melakukan apa saja
yang dikehendaki-Nya. ALLAH Dzat yang Maha Mendengar. ALLAH Dzat yang Maha
Melihat. ALLAH Dzat yang Maha Mengetahui. ALLAH yang mengabulkan permintaan dan
permohonan hamba-Nya. ALLAH yang memberi manfa’at dan madhorot. ALLAH dengan
segala kesempurnaan dzat dan sifat-sifat-Nya. Sungguh amat pantas dan memang
sudah semestinyalah bagi seseorang untuk menggantungkan dan mengaitkan hatinya
hanya kepada ALLAH semata, Dzat yang Maha Sempurna.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Barang siapa yang bergantung kepada sesuatu maka dia serahkan kepadanya (HR.
Tirmidzi dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albany rahimahullah)

Yaitu barang siapa yang bergantung kepada sesuatu dan menjadikannya sebagai
tujuan, sehingga dia menggantungkan harapan kepadanya dan menjadikannya sebagai
penghilang rasa takutnya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada sesuatu
tersebut dan akan bersandar kepadanya. Begitu pula, apabila seseorang hanya
bergantung kepada ALLAH, maka dia akan menjadikan ALLAH sebagai tujuannya, dia
gantungkan harapannya kepada-Nya, dan ALLAH-lah yang menghilangkan rasa takut
yang ada pada dirinya. Dia serahkan dan sandarkan dirinya, hanya kepada ALLAH
Ta’ala.

Sebaliknya, apabila dia bergantung kepada sesuatu selain ALLAH, maka dia akan
berserah diri dan menyandarkan dirinya kepada sesuatu tersebut. Dan ini adalah
salah satu bentuk kesyirikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Barang siapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik” (HR. Imam
Ahmad)

Seseorang yang menggantungkan jimat dalam rangka mengangkat malapetaka atau
melindungi diri dari musibah berarti dia telah menggantungkan hatinya kepada
jimat tersebut. Berarti pula dia telah menyandarkan dirinya dan hatinya kepada
jimat tersebut. Dia berkeyakinan bahwa jimat itu bisa melindungi dia dari mara
bahaya. Padahal tidak ada yang bisa melindungi dia dari mara bahaya kecuali
Çááøåõ Ta’ala. Karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghukumi
bahwa orang yang demikian telah berbuat syirik. Kenapa? Karena hatinya sudah
bergantung dan bersandar kepada selain ALLAH, dan ini sangat bahaya.

Bahaya? Ya, karena syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni. Selain itu,
orang yang menyandarkan hatinya tidak kepada ALLAH, maka hatinya akan menjadi
lemah. Coba orang yang seperti ini dijauhkan dari jimatnya. Atau larang dia
untuk mengucapkan kata “permisi” kepada “penunggu” kawasan. Atau cegah dia dari
penyembelihan ayam hitam. Atau larang dia untuk mempersembahkan sesajen. Apa
yang akan terjadi? Hatinya akan gelisah, resah, takut bahwa mara bahaya akan
menimpanya. Khawatir keberuntungan tidak akan menyapanya. Cemas, harapannya
tidak bisa terwujud. Apakah hati yang seperti ini bisa dikatakan sebagai hati
yang kuat? Atau sebagai hati yang sehat? Bahkan sebaliknya, yang seperti ini
adalah hati yang lemah dan sakit.

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bertawakal hanya kepada ALLAH.

(Artinya: “Barang siapa yang bertawakkal hanya kepada ALLAH, maka ALLAH cukup
baginya” )

(Ath Tholaq: 3)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bersandar hanya kepada ALLAH.

(Artinya:”Cukup bagi kami Allah dan sebaik-baik tempat penyerahan diri“) (Ali
Imran:173)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang meminta pertolongan hanya kepada
ALLAH.

(Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan” ) (Al Fatihah: 5)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang berlindung hanya kepada ALLAH.

(Artinya:“Katakanlah (-wahai Muhammad-): “Aku berlindung kepada Rabbnya
Manusia”)
(An-Naas: 1)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang takut hanya kepada ALLAH.

(Artinya: “Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya
kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman.“) (Ali Imran:175)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bergantung hanya kepada ALLAH saja.

Ketahuilah, ketergantungan hati kepada selain Allah

Ta’ala ada beberapa macam:

1. Ketergantungan hati yang menyebabkan sirnanya nilai tauhid secara
keseluruhan, yaitu dia bergantung kepada sesuatu yang sebenarnya tidak mempunyai
pengaruh sama sekali, dan bersandar kepadanya, yang menyebabkan dia berpaling
dari ALLAH Ta’ala. Seperti; ketergantungan para penyembah kuburan terhadap para
penghuninya -untuk melepaskannya dari musibah-musibah yang menimpanya-. Oleh
karena itu, jika mereka menemui mara bahaya yang dahsyat, mereka akan
mengatakan, “Wahai fulan, selamatkanlah kami!” Yang demikian ini -tidak
diragukan lagi adalah kesyirikan yang besar, yang mengeluarkan seseorang dari
Islam.

2. Ketergantungan hati yang melenyapkan kesempurnaan tauhid. Yaitu, ketika
seseorang bersandar kepada sebab-sebab yang dibolehkan oleh syari’at ini, akan
tetapi dia lalai terhadap yang menciptakan sebab-sebab tersebut, yaitu ALLAH
‘Azza wa Jalla, dan dia tidak memalingkan hatinya kepada-Nya. Dan ini adalah
salah satu bentuk kesyirikan. Tetapi tidak dikatakan syirik besar, karena
sebab-sebab ini memang telah ALLAH jadikan sebagai sebab.

3. Dia bergantung dengan sebab semata-semata hanya karena itu sebagai sebab
saja. Sementara penyandaran asalnya masih hanya kepada ALLAH Ta’ala. Maka dia
berkeyakinan bahwa sebab ini adalah dari ALLAH Ta’ala, dan bahwasanya ALLAH
-kalau Dia menghendaki akan menghilangkan pengaruhnya atau membiarkannya-. Dan
dia berkeyakinan, bahwasanya sebab tersebut tidak akan memiliki pengaruh kecuali
dengan kehendak ALLAH Ta’ala. Yang demikian itu
tidaklah mengurangi sama sekali kesempurnaan tauhidnya.

Lihatlah akhir dari keadaan seseorang yang menggantungkan hatinya kepada selain
ALLAH. Akhir yang menakutkan dan mengerikan. Akhir yang penuh dengan risiko dan
mara bahaya. Siapakah kiranya -orang berakal- yang menginginkan hatinya menjadi
lemah. Siapa juga yang sudi hatinya menjadi sakit. Bahkan akhirnya terjatuh ke
dalam jurang kesyirikan yang sangat berbahaya.

Jika seseorang terjatuh ke dalamnya, hanya dengan rahmat ALLAH serta taufiq-Nya
sajalah dia biasa bangkit dan selamat dari jurang tersebut. Tanpa itu, mustahil
seseorang akan selamat.

Sudah saatnya bagi kita untuk bercermin, kemudian berkata;

Kepada siapa selama ini hati ini aku gantungkan? Kepada siapa selama ini hati
ini aku sandarkan? Kepada siapa selama ini jiwa ini aku serahkan? Kepada-Mu kah
ya ALLAH, atau kepada jimat-jimat yang tergantung indah? Atau kepada para
“penguasa” alam tersebut yang katanya bisa melindungi? Atau kepada secuil
pekerjaan yang menjanjikan? Atau kepada mereka yang katanya akan menjamin
kebahagiaan hidupku? Atau, kepada siapakah?

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang hanya bertawakal kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang selalu bersandar kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang menggantungkan hatinya hanya
kepada-Mu.

Senin, 25 Oktober 2010

Lagi disayang Gusti Allah

Suatu sore terlihat seorang pemuda datang ke seorang kyai. Raut
mukanya kusut, pandangannya loyo. Baju bermerk yang ia kenakan tidak
bisa menutupi kegelisahan yang ada di kening kepalanya.

”Pusing saya, kyai ....”

”Kenapa harus pusing ? ” tanya sang kyai.

”Menurut saya, saya tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Saya sholat
seperti biasa, shalat malam juga saya amalkan. Baca Al Qur’an rutin
saya amalkan. Namun.......... mengapa bisnis saya tertipu, saya
tertipu rekan bisnis saya. Saya percayai ia...namun apa balasannya ?
Ia bawa kabur ratusan juta rupiah uang saya ..”

”Ya...kamu tetap lakukan seperti biasanya, bahkan tingkatkan
lagi...lebih dekatkan lagi sama Gusti Allah...apa yang terjadi padamu
saat ini..merupakan tanda-tanda kamu lagi disayang gusti Allah” jawab
sang kyai.


Mendengar jawaban sang kyai, pemuda itupun tambah bengong dan bingung.
Logika berfikirnya tidak masuk, namun untuk menanyakan lebih lanjut
iapun tidak berani. Dengan kegelisahan yang masih menggelayut di
kepalanya iapun pamitan pulang.

Sesampai di rumah, ia pandangi dirinya sendiri di depan cermin, iapun
berkata dalam hati...”menyedihkan....”. Hari berganti hari, bulan
berganti bulan. Kalau dulu sisa uang masih bisa ia pergunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, lambat laun semakin menipis, hingga pada
suatu hari iapun terpaksa memecah celengan, tempat ia kumpulkan koin
lima ratus dan seratus rupiah. Dengan tersayat – sayat hatinya iapun
terpaksa memecah celengan itu, padahal semula celengan itu hanya
sebagai tempat penyimpanan uang recehan yang menurutnya pada saat itu,
tidak ada manfaatnya selain sebagai pemberian kepada ”polisi cepe”
saat melintas di jalan.

Tahun berganti tahun pemuda ini ia lalui, dalam hari – harinya dalam
kesulitan ia selalu terngiang-ngiang kata – kata sang kyai, ” ...lebih
dekatkan lagi sama Gusti Allah...apa yang terjadi padamu saat
ini..merupakan tanda-tanda kamu lagi disayang gusti Allah”, iapun
terus mengevaluasi diri tentang kekurangan ibadahnya kepada Allah,
tidak hanya ibadah lahiriah namun lebih ke aspek batiniah ia sedikit –
demi sedikit diperbaiki. Tanpa terasa lambat laun keadaan ekonominya
berubah. Uang yang dulu tertipu rekan bisnisnya, telah kembali
berlipat – lipat dari kemajuan usahanya.

Suatu saat iapun bersilaturahim kepada kyai yang dulu ia temui.
Setelah berbincang sejenak, si pemuda itupun berkata kepada kyai.

”Alhamdulillah kyai, dari pengalaman saya tertipu rekan bisnis
saya yang dulu saya bisa belajar tentang bersyukur rama kyai ....”
” O...begitu, alhamdulillah...” jawab kyai.

” Coba kalau saya tidak tertipu, saya tidak bisa merasakan arti
sejumlah recehan yang dulu saya remehkan...rama kyai. Saat dalam
kekurangan...uang recehan itu ternyata begitu berarti...., saya bisa
merasakan betapa sesuatu yang sangat remeh menurut anggapan
kita...ternyata berharga sekali...dan saya yakin, masih banyak rekan –
rekan saya yang bernasib dibawah saya.”

” alhamdulillah...berarti kamu sudah bisa merasakan arti
syukur....terus, kamu kesini kok, pakai mobil butut...padahal duit
kamu kan sudah banyak...jangan – jangan kamu malah ngga bersyukur ”,
tanya kyai dengan senyuman.

”Bukan begitu rama kyai, insya allah saya bisa beli mobil yang
jauh lebih mewah....tapi saya takut rama kyai.... saya selalu berdo’a,
”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, tetapi jangan Engkau
menjadikannya dalam hati kami....”, makanya saya berusaha lebih
sederhana rama kyai..”

Mendengar jawaban pemuda, kyaipun tersenyum agak lebar, kemudian
berkata, ”alhamdulillah...semoga banyak pemuda yang berprinsip sama
seperti kamu.....namun, kamu juga harus hati – hati, tanyakan dalam
hatimu....sikapmu itu...karena tulus, atau karena ”ingin dianggap
sederhana.....ingin dianggap zuhud....”



Ketika mendengar uraian sang kyai yang terakhir, ”...ingin dianggap
sederhana.....ingin dianggap zuhud....”, hati pemuda itupun
bergetar...., iapun lantas menunduk, lantas berkata, ”ya...rama
kyai...saya masih harus belajar ....”.

Wallahu a’lam.

sumber:
http://www.kangtris.com/2009/10/lagi-disayang-gusti-allah.html

Minggu, 24 Oktober 2010

Seandainya Dapat Kembali ke Dunia lagi

Oleh: Dhamdham



Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: “Ya
Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia)…”(QS. Al Mukminun: 71)



Setiap manusia yang hidup pasti memiliki angan – angan. Memiliki cita – cita
dan keinginan. Mungkin seorang yang miskin akan melamun, “kapan saya bisa
kaya?” seorang yang kaya menginginkan supaya kekayaanya berkembang berlipat
ganda. Tatkala seorang sakit, dia akan membayangkan seandainya bisa sembuh.
Maka benar sabda Rasulullah saw, “Seandainya anak adam memiliki emas
segunung Uhud, pasti dia akan lebih senang seandainya memiliki dua emas
segunung Uhud, dia tidak akan merasa tercukupi melainkan tanah telah
memenuhi mulutnya, dan Allah akan memberikan ampunan kepada siapa saja yang
bertaubat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan ad Darini)



Maksudnya manusia akan senantiasa tamak terhadap dunia sampai dia meninggal
dan mulutnya terpenuhi oleh tanah kubur.



Manusia yakin mati adalah keniscayaan-Nya, namun tidak sedikit yang ketika
ajal menjemput, baru menyadari hakekat kehidupan dunia. Saat itulah dia
menyesali perbuatan yang pernah dilakukan di dunia. Namun semua sia – sia,
tidak ada lagi amal shalih baginya yang dapat dikerjakan, yang ada hanyalah
perhitungan amal. Maka kabar gembira bagi orang – orang shalih, “Dan itulah
jannah yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal – amal dahulu kamu
kerjakan.” (QS. Az Zukhuf: 72)



Dan kabar buruk bagi si thalih (antonym shalih), “Sesungguhnya orang – orang
yang berdosa kekal di dalam azab Jahanam.” (QS. Az Zukhuf: 74)



Angan – angan orang shalih

Mereka adalah orang – orang yang selamat dari siksa neraka yang kekal. Dan
mereka bertingkat – tingkat sesuai dengan derajat yang mereka peroleh. Orang
– orang shalih memiliki harapan dan angan diantaranya:



1.Setelah meninggal dunia, ia ingin segera diantar ke kubur. Dari Abu Said
al Khudri, Rasulullah saw bersabda, “Apabila jenazah telah siap, kemudian
dipikul oleh kaum laki – laki di atas punggungnya, apabila dia jasad yang
shalih, akan berkata, “Dahulukanlah aku, dahulukanlah aku”. Apabila tidak
shalih, dia, “Celaka, ke mana mereka hendak pergi? Suara itu didengar oleh
siapapun kecuali manusia, dan seandainya saja mereka dapat melihat, pasti
akan goncang.” (HR. al Bukhari dan an Nasa’i)



2. Dia berharap tidak kembali ke dunia dan berharap kiamat segera tiba,
sebab mereka melihat derajatnya yang begitu mulia di jannah. Dia ingin
segera masuk ke dalam kenikmatan yang kekal. Rasulullah saw telah
menceritakan kepada kita saat seorang mukmin ditanya oleh dua malaikat di
dalam kubur,”…Tiba – tiba terdengar suara yang memanggil dari langit,
hamba-Ku benar, maka persilahkan dia menempati tempat tidurnya di Jannah,
pakaikanlah pakaian Jannah, bukakanlah baginya pintu menuju Jannah. Kemudian
arwahnya datang beserta bau harum, kuburnya diluaskan sejauh mata memandang,
lalu datang seorang laki – laki berwajah tampan, berpakaian bagus dan harum,
dia berkata: saya datang memberi kabar gembira untukmu, ini adalah harimu
yang telah dijanjikan. Dia berkata: “Siapakah kamu?” Laki – laki itu
berkata: “Saya adalah amal shalihmu.” Dia berkata: “Ya Rabbku bangkitkanlah
hari Kiamat, ya Rabbku bangkitkanlah hari Kiamat, sehingga saya dapat
kembali menemui keluarga dan hartaku…(HR. Abu Dawud, al Hakim, Ibnu
Khuzaimah)



Sedangkan orang kafir atau munafiq, akan berdoa: “Wahai Rabbku, janganlah
Engkau bangkitkan hari Kiamat.” Sebab dia tahu apa yang akan terjadi setelah
alam kubur itu lebih dahsyat dari apa yang tengah dialaminya.



3. Orang shalih punya keinginan untuk menemui keluarganya agar bisa memberi
kabar gembia bahwa dia selamat dari neraka. Apabila seorang mukmin mati dan
melihat apa yang dijanjikan kepadanya serta selamat dari api neraka, dia
berkata “Biarkanlah aku (kembali), agar saya memberi kabar gembira kepada
keluargaku.” Maka dikatakan kepadanya: “Tetaplah tinggal.” (HR. Ahmad dari
Jabir bin Abdillah)



Dan Allah berfirman,

“Dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke jannah”. Ia berkata: “Alangkah baiknya
sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Rabbku memberikan ampun
kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang – orang yang dimuliakan”. (QS.
Yasin: 26-27)



4. Angan – angan orang mati syahid

Meskipun kedudukan tinggi telah mereka capai. Namun masih ada keinginan,
seandainya dapat kembali ke dunia untuk berjihad memerangi musuh – musuh
Allah. Dia ingin berperang dan ingin terbunuh hingga sepuluh kali, sebab dia
melihat karomah yang sangat besar. Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw
bersabda, “Tiada seorangpun yang masuk jannah kemudian ingin kembali lagi ke
dunia , tidak ada satu permintaanpun di bumi kecuali mati syahid, dia ingin
kembali ke dunia kemudian terbunuh hingga sepuluh kali Karena dia melihat
banyak karomah.” (HR. Ahmad, al Bukhari, Muslim, at Tirmidzi, an Nasai dan
Ibnu Hibban)



Angan – Angan Orang Thalih

Sesungguhnya orang – orang yang malas untuk memberikan hak – hak Allah
adalah orang lalai. Dia selalu mengundur – undur taubat dan mengatakan,
“Pasti nanti saya akan bertaubat.” Dia yakin umurnya masih panjang dan tidak
sadar kematian bisa datang tiba – tiba. Saat itulah dia tidak dapat mengelak
dan lari darinya. Selanjutnya tinggalah ia sendiri di dalam kubur yang gelap
gulita. Saat itulah dia berangan – angan sesuatu yang tidak mungkin lagi
dicapai. Diantara keinginan orang – orang thalih adalah:



1. Ingin diberi kesempatan shalat di dunia, meskipun hanya dua rakaat. Dari
Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw melewati sebuah kuburan, beliau
bertanya: “Milik siapakah kuburan ini?” Para sahabat menjawab: “Fulan”
Beliau bersabda, “Dua rakaat lebih dicintai oleh pemilik kubur ini daripada
sisa hidup kalian.” (HR. ath Thabrani)

Keinginan yang besar mereka adalah diberi kesempatan untuk shalat dua rakaat
agar dapat menambah kebaikannya. Sebab Rasulullah saw pernah bersabda,
“Shalat adalah sebaik – baik materi, barang siapa yang mampu memperbanyak
shalatnya, maka perbanyaklah.” (HR. ath Thabrani)



2. Ingin bersedekah

Allah telah mengingatkan kepada hamba – Nya yang memiliki harta untuk
menyisihkan sebagian dari rizki yang telah diberikan kepada kaum miskin,
agar kelak ketika telah datang kematian dia tidak menyesal.

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia
berkata: “Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai
waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk
orang – orang yang shalih. “ (QS. Al Munafiqun: 10-11)

Mengapa dia berkata demikian? Sebab dia baru sadar bahwa shadaqah akan
memadamkan murka Allah. Umar bin Khathtab berkata: “Telah diceritakan
kepadaku bahwa seluruh amal saling membanggakan dirinya, lalu shadaqah
berkata: “Sayalah amal yang paling utama di antara kalian.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan al Hakim)



3. Ingin beramal shalih

Ketiga, dia berharap kembali kedunia untuk menjadi orang shalih meskipun
hanya sesaat. Dia ingin memperbaiki amalnya dan menjadi orang yang taat
kepada Allah. Allah berfirman di dalam surat al Mukminun: 99 – 100. Mereka
adalah orang – orang yang lalai dari mensyukuri nikmat Allah dan tertipu
oleh nikmat yang dianugrahkan kepadanya.

Oleh karena itu bagi kita yang masih diberi kesempatan, hendaklah mulai
berfikir dan membayangkan bagaimana jika kita telah berada di kubur?
Sudahkah kita yakin dengan bekal amal kita selama ini? Wallahulmusta’an.



Jombang, 3 Agustus 2007

Sumber: ar-risalah no 75

Sabtu, 23 Oktober 2010

*Kemudharatan Salah Siapa? (oleh Aa Gym)*

Kepahitan yang datang dalam ujian kehidupan terbagi menjadi dua. Yang
pertama, kepahitan yang dirancang Allah untuk meningkatkan derajat keimanan
kita. Sebagaimana tercantum dalam Al Quran surat Al Ankabut ayat 2-3 “Dan
manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan : “kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? - Dan sesungguhnya Allah
telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang
dusta.”



Dan yang kedua, kepahitan sebagai buah dari perbuatan buruk dan dosa–dosa
kita sendiri, sebagaimana dalam Al Quran An Nisaa’ ayat 79 “Apa saja nikmat
yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”



Dalam Al Quran surat al Ankabut ayat 4 difirmankan “Ataukah orang-orang yang
mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami?
Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.”



Sehingga, balasan paling minimal dari Allah atas dosa-dosa kita adalah
dijadikan hatinya yang gelisah dan perasaan tidak tenang sehingga selalu
tersiksa menjalani kehidupan.



Namun adab terhadap hak Allah itu mengharuskan agar kejahatan, keburukan,
itu dinisbatkan kepada hamba. Sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah
dalam mengajak manusia supaya bersikap adab terhadap hak-Nya: Apa saja
nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri … (QS An Nisa’: 79)
Dikatakan bahwa Yang Memberi mudarat itu ialah Dzat yang berasal dari-Nyalah
segala kebaikan, kejahatan, dan kemudaratan, dan itu semua dinisbatkan
kepada Allah SWT; baik dengan perantaraan malaikat, manusia, benda-benda
mati, maupun tanpa perantara.



Di dalam Al-Quran Surat Yunus ayat 107: Jika Allah menyentuhkan sesuatu
kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali
Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat
menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Sentuhan Allah dalam kepahitan Itu merupakan sentuhan
rahmat, bukan benci, supaya kita sadar atas kurang taatnya kepada Allah.
Walaupun lahirnya taat, tapi seringkali hati belum taat kepada Allah SWT.
Dan hanya Allah SWT yang kemudian kuasa untuk menghilangkan kemudharatan
itu, tanpa kepahitan.







*Jangan menyangka apabila terkena racun yang menyebabkan bahaya itu
racunnya, melainkan racun hanya menjadi jalan saja.*



Jika suatu kejadian menjadikan hati kembali kepada Allah, maka akan mendapat
berbagai fadhilah, seperti bergugurannya dosa yang selama ini tidak
tertebus.



Bisa menyadari perlindungan Allah itu rahmat. Banyak yang Allah selamatkan
di balik kejadian yang menyakitkan tersebut. Ketenangan batin menghadapi
ujian bukanlah sesuatu yang murah. Ujian itu bisa menjadi jalan untuk
menjadi orang yang haqqul yaqin kepada Allah.



Allah SWT menyentuhkan sesuatu, seperti ayat di atas, yang dirasa tidak
mengenakkan, itu sesungguhnya adalah sebagai rahmat. Kita tidak boleh *
su’udzon* kepada Allah atas ketentuan takdir-Nya. Tak perlu ada pertanyaan
mengapa ini demikian getir rasanya, karena memang kita tidak bisa melihat
makna dari sentuhan itu. Hal itu terjadi mesti karena penglihatannya
orientasi duniawi belaka, hati belum bersih, tidak kembalinya hati kita
kepada Allah. Sudah, bagi kita, tidak ada lagi *su’udzon*. Sebab ia selalu
melihatnya sebagai kemahabaikan Allah. Kebaikan Allah tidak bisa terlihat di
balik musibah, sepanjang masih ada selain Allah SWT sebagai sumber dari
mudharat itu yang menyebabkannya selalu merasa berat menerima kenyataan itu.



Harusnya kita bangun dari kesalahan kita yang telah terjadi, yang
menyebabkan Allah menyentuhkan musibah. Pasti ada rahasia Allah di balik
semua kejadian. Namun, perlu digarisbawahi bahwa semua keburukan yang kita
alami tidak boleh dinisbahkan kepada Allah. Allah memakai kata jika untuk
menyentuhkan. Terjadi dengan ijin Allah karena diundang oleh keburukan kita.



Kenapa orang tidak sukses terbukanya hati, karena dia masih melihat makhluk
sebagai sebab. Mereka sesungguhnya sebagai alat-alat Allah saja yang
digerakkan oleh-Nya. Allah yang mengijikannya, dan tidak dinisbahkan oleh
kita.



Supaya hati kita bersih, dan disukai Allah, maka di hati tidak boleh ada
tandingan selain Allah yang menjadi tumpuan harapan, karena Allah yang
menciptakan dan mengurus kita. Allah menyukai hamba-Nya menjadi bersih.
Jangan dulu lihat wayang, tapi lihat dalangnya. Mulai sekarang kita harus
melihat Allah SWT di balik semua yang ‘menyentuh’ kita. Jangan sampai
seperti kebanyak manusia yang banyak sengsara karena menzalimi diri sendiri.



Allah menyentuh dengan kemurahannya, kasih sayangnya, sedangkan kita
bertahan dengan kebusukan hati dengan tidak sabar, *suudzon*, atau kelakuan
dosa lainnya. Mendekat kepada Allah ia hanya basa basi.

Keajaiban Bersyukur

By: agussyafii

Pernah di Rumah Amalia, saya kedatangan tamu, seorang bapak yang baru saja terkena PHK. Menurut penuturannya di kantor tempatnya bekerja sedang ada pengurangan tenaga kerja dan dirinya salah satu orang yang terkena PHK. Ada informasi bahwa masa kerja dibawah 10 tahun hanya akan mendapatkan 1 setahun gaji pesangon.

Dengan wajah yang penuh senyuman beliau mengatakan, 'Alhamdulillah, saya yakin ada rencana Allah yang terindah untuk saya dan keluarga saya dibalik PHK ini, Itulah sebabnya saya niatkan bershodaqoh untuk anak-anak Amalia agar PHK ini mendapatkan keberkahan Allah Subhanahu Wa Ta'ala bagi saya dan keluarga saya.' Ucap beliau penuh keyakinan. Mungkin PHK menjadi momok bagi orang lain namun keyakinannya ada hikmah dibalik PHK yang dialaminya, membuat hati beliau menjadi kokoh dan disandarkan hidupnya kepada Allah semata.

Hampir satu minggu menunggu kepastian uang pesangon akhirnya cair juga, yang didapatkan 75 juta. Uang itu digunakannya untuk usaha, alhamdulillah, rizki yang Allah berikan semakin melimpah dengan usaha yang sekarang dikelola semakin maju dan berkembang bahkan sudah memiliki ruko sendiri. Begitulah gambaran orang yang senantiasa bersyukur . Bersyukur adalah melihat kepada Sang Pemberi nikmat, bukan melihat kepada nikmat, Itulah keajaiban bersyukur.

'Dan barangsiapa bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat Kami kepada kalian.' (QS. Ibrahim : 7).

*Orang Mulia Itu Keturunan Budak*

Hasan al-Basri menjadi imam, kota Basrah merupakan benteng Islam yang
terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung dipenuhi oleh
para Shahabat dan Tabi’in yang hijrah ke kota itu. Halaqah-halaqah keilmuan
dengan beraneka ragam yang memakmurkan masjid-masjid. Hasan al-Basri
menekuni halaqah Abdullah bin Abbas. Dia mengambil pelajaran tafsir, hadits,
qira’ah, fiqh, adab dan bahasa.



Ketika Hasan al-Basri sudah menjadi ulama, banyak umat yang menggali
ilmunya, mendatangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya, yang mampu
melunakkan jiwa-jiwa yang keras, dan sampai mencucurkan air mata bagi
orang-orang yang berbuat dosa. Banyak orang yang terpikat dengan hikmahnya
yang mempesona.



Ketika Hajja bin Yusuf At-Tsaqafi berkuasa di Irak, dan bertindak
sewenang-wenang dan kejam, Hasan al-Basri adalah termasuk dalam bilangan
sedikit orang berani menentang dan mengecam keras akan kezhaliman pengausa
itu secara terang-terangan. Saat itu, justru sebagain besar para ulama takut
dengan Hajjaj, yang sangat kejam dan berindak dengan keras, terhadap siapa
saja yang berani mengkritiknya.



Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota
Wasit. Ketika pembangunan selesai diundangnya orang-orang untuk melihat dan
mendo’akannya.



Hasan al-Basri tak mau menyia-nyiakannya kesempatan yang ada, di mana pasti
saat itu pasti banyak orang yang datang dan berkumpul di istana Hajjaj.
Maka, Hasan al-Basri tampil dan memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar
bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar kemuliaan di
sisi Allah. Bukanlah kenikmatan dunia yang tidak seberapa dibandingkan
dengan kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah di akhirat nanti.



Saat tiba di istana, Hasan al-Basri, melihat begitu banyak orang mengelilngi
istana yang megah dan indah dengan halamannya yang sangat lua. Beliau
berdiri dan berkhutbah. Diantara isi khutbahnya itu, Hasan al-Basri
menyatakan : “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh oleh manusia yang
paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yagn lebih besar
dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun, Allah membinasakan Fir’aun
beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj sadar bahwa penghuni langit
telah membecinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya …”



Hasan al-Basri tidak berhenti mengkritik Hajjaj, dan terus melanjutkannya:
“Wahai saudaraku, Allah Ta’ala telah megnambil sumpah dari ulama agar
menyampaikan kebenaran kepada manusia, dan tidak boleh menyembunyikannya”,
tambahnya.



Keesokannya harinya, Hajjaj dengan penuh amarah, menghadiri pertemuan
bersama para pejabatnya, dan berkata keras : “Celakalah kalian! Seorang dari
budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorangpun
dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan
darahnya kepada kalian wahai para pengecut”, ungkapnya.



Lalu, Hajjaj memerintah para pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta
algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri. Saat Hasan
al-Basri sudah dibawa, semua mata memandang kepadanya, dan mulai hati
berdebar. Menunggu nasib yang akan dialami oleh Hasan al-Basri. Begitu Hasan
al-Basri melihat algojo yang sudah menghunus pedangnya dekat tempat hukuman
mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca seseuatu. Kemudian beliau
berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan
sesorang muslim dan kehormatan seorang da’I di jalan Allah.



Demi melihatketegaran yang demikian hebat, mental Hajjaj runtuh. Padahal,
sudah masyhur di seluruh Irak tentang kekejaman Hajjaj. Terpengaruh wibawa
dan sikap Hasan al-Basri, dan Hajjaj berkata begitu ramah dengan ulama itu,
“Silakan duduk di sini wahai Abu Sa’id, silakan ..”, ucap Hajjaj.



Seluruh yang hadir menjadi terbelalak matanya. Melihat perilaku Amirnya
(Hajjaj) mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya dengan penuh
wibawa. Hajjaj menoleh kearah al-Basri dan menanyakan berbagai masalah
agama, dan dijawab oleh Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik.



Saat merasa pertemuan itu sudah cukup, dan Hajjaj sudah merasa cukup
pertanyaan-pertanyaan agama sudah dijawab oleh Hasan al-Basri, lalu Hajjaj
mengantarkan Hasan al-Basri sampai ke depan pintu istana, seraya berkata :
“Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat”, kata Hajjaj.
Kemudian, Hajjaj menyemprotkan minyak ke jenggot al-Basri sambil memeluknya.



Pengawal yang mengantarkan Hasan al-Basri sampai ke pintu gerbang itu,
bertanya mengapa Hajjaj tidak sampai membunuhya, padahal dia sudah
mempersiapkan algojo? “Ketika apa yang anda baca,wahai Sheikh?”, tanya sang
pengawal itu. Beliau menjawab, “Ketika itu aku berdo’a, “Wahai Yang Maha
Melindungi dan tempatku dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin
dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin
dan kesalamatan bagi Ibrahim”, pintanya.



Begitulah Hasan al-Basri yang berani menesahati penguasa yang sombong,
kejam, dan sangat sewenang-wenang, saat penguasa itu hidup bergelimangan
dengan kemewahan, dan ada tanpa takut sedikitpun atas keselamatan jiwanya.
Padahal, Hasan al-Basri, tak lain anak seorang budak Rasulullah Shallahu
alaihi wa sallam, yang bernama Khairah, yang dinikahi oleh Yasaar budak dari
Zaid bin Tsabit.



Sekalipun budak, di dalam Islam, tetap melahirkan keturunan yang mulia,
ulama yang amat disegani dikalangan ulama di Basrah, bahkan, yang paling
masyhur, kisah Umar bin Abdul Aziz, yang tak lain, juga keturunan seorang
budak. Inilah keistimewaan dalam Islam.



Orang-orang yang mulia dapat lahir dari para budak, yang menjadi pembela
Islam, dan menegakkan Islam, tidak kemudian nasib mereka menjadi orang-orang
yang disisihkan dalam kehidupan nyata. Wallahu’alam.

Cukuplah Allah Menjadi Penolong Kami

By: agussyafii

Bila kita sedang menghadapi berbagai ujian, cobaan, musibah barulah menyadari kita memerlukan pertolongan. Kita baru tersadar bila kita tertimpa ujian dan cobaan yang bertubi-tubi, seolah terlempar ke dunia yang terasa begitu berat membuktikan bahwa kita makhluk yang lemah, tidak berdaya, kita memerlukan bantuan, kita memerlukan bantuan. Namun kepada siapa kita meminta pertolongan? Bukankah disekeliling kita juga membutuhkan pertolongan? Secercah harapan dalam hidup kita hadir bila kita menyakini 'Hasbunallah wanikmal wakil' (QS. Ali Imran: 173). Artinya, 'Cukuplah Allah menjadi penolong kami.'

Ketika Nabi Ibrahim Alaihi Salam dilempar ke dalam kobaran api, beliau mengucapkan 'Hasbunallah wanikmal wakil' Allah menjadikan api yang panas menjadi dingin sehingga Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api yang membara. Demikian juga ketika Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Salam dan para sahabatnya mendapatkan ancaman juga mengucapkan 'Hasbunallah wanikmal wakil' yang membuatnya selamat dari marabahaya.

'Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan Dia sebaik-baiknya pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mengikuti keridhaan Allah. Allah mempunyai karunia yang besar.' (QS. Ali Imran : 173-174).

Kita tidak akan bisa mampu melawan bencana, menaklukkan semua derita dan mencegah musibah yang datangnya setiap saat dengan cara kita sendiri sebab kita memiliki kemampuan yang terbatas, kita diwajibkan berikhtiar untuk menyelesaikan setiap masalah bagaimana hasilnya selebihnya kita menyerahkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika tidak demikian, adakah jalan keluar yang lebih baik untuk kita tempuh disetiap kita menghadai ujian dan cobaan?

'Dan bertawakallah engkau hanya kepada Allah, jika engkau orang-orang yang beriman.' (QS. al-Maidah : 23).

Teman yang berbahagia, bertawakallah kepada Allah yang Maha Kuat dan Maha Sempurna yang kekuatannya begitu teramat besar tak terbatasi, jadikanlah 'Hasbunallah wanikmal wakil' sebagai amalan yang bermakna dalam setiap langkah kita. jika anda sedang terlilit hutang, menghadapi cobaan yang beruntun, kehilangan pekerjaan, rizki yang seret, dikhianati orang yang anda cintai, sedang dalam keadaan sakit parah, jika anda takut terhadap perlakuan orang berbuat dzalim, mengadu dan berharaplah kepada Allah dengan mengucap 'Hasbunallah wanikmal wakil' Insya Allah, ujian, cobaan, penderitaan dan masalah kita selesai dengan pertolongan Allah. Amin