Dunia digambarkan Allah laksana tetesan hujan yang banyak menyuburkan tanaman, dan tanaman inilah yang kemudian memukau orang-orang kafir. Kemungkinan orang kafir yang dimaksudkan disini adalah orang kafir kepada Allah. Karena itu, al-Qur’an memperkenalkan kaum kafir ini ketika menyebutkan sifat ini dalam setiap ayat. Kalau saja yang dimaksud dalam sebuah ayat adalah para petani, niscaya akan disebutkan menurut profesi mereka supaya bisa dikenal. Misalnya saja firman Allah, “Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya,†(QS. Al-Fath: 29)
Ayat ini hanya menyindir orang-orang kafir karena mereka sangat terpesona oleh dunia. Anggapan mereka, inilah rumah sejati sehingga mereka harus bekerja dan membanting tulang sekeras-kerasnya. Mereka sangat takjub dengan berbagai perhiasandan isinya. Kemudian Allah menceritakan nasib tanaman itu, yakni menguning dan menjadi kering/layu. Inilah akhir dari dunia. Kalau seorang hamba memiliki beraneka kehidupan dunia, dari pangkal hingga ujung, niscaya nasibnya tidak jauh berbeda dengan tanaman ini.
Namun, kalau akhirat menjadi tujuan utama diatas dunia karena dia ingin terbebas dari siksa yang pedih, mendapat ampunan Allah dan pahala yang berlimpah, maka nasibnya seperti yang diungkapkan Ali bin Abi Thalib: “Dunia adlah tempat sejati bagi mereka yang menyedekahkannya. Rumah keselamatan bagi mereka yang memahaminya. Tempat keberhasilan bagi mereka yang tunduk pada Allah semata. Sebab didalamnya ada mesjid para nabi, tempat turunnya wahyu, mushala para malaikat dan tempat tinggal para Wali-Nya.
Di dalamnya mereka bisa mendapatkan rahmat. Di dalamnya mereka bisa beruntung mendapatkan keselamatan. Siapa saja yang mencela dunia, maka dia telah menundukkannya dan menemukan hakikatnya dan para penghuninya. Akan tetapi yang tidak, dia telah menghanyutkan dirinya dalam belaian dunia.
Cintanya menggelora pada dunia ini dan begitu suka cita pada kebahagiaan duniawi, baik dalam kondisi takut ataupun berharap. Maka ada kaum yang mencelanya, sementara kaum yang lainnya malah memujinya. Dunia mengingatkan dan menasihatinya sehingga diapun terpengaruh.
Wahai orang-orang yang mencela dunia dan memujinya sehingga terpedaya, sampai kapan dunia akan mempesonakan dan memperdaya kalian? Apakah sampai ditempat ayah kalian di bawah tanah yang basah (kuburan)? Apakah tempat berbaring ibu yang sudah usang? Kalian lihat berapa banyak warisan yang ditinggalkan? Berapa banyak kalian menuangkan minum kepada orang sakit? Berapa banyak kalian mengunjungi orang sakit dan mencarikan obat baginya, mengundang dokter untuknya, kemudian tidak berguna apa-apa pertolongan kalian ini dan pencarian kalian tidak bermakna?
Perumpamaan dunia buat kalian adlah tempat mati dan tempat tidur kalian.†Kemudian Ali menoleh kepada kuburan dan berseru: “Wahai penghuni kuburan, wahai mayat yang sudah menyatu dengan tanah. Perputaran sudah selesai. Harta benda telah terbagi. Isteri-isteri pun sudah menikah. Ini adalah kabar dari kami, maka sampaikan kabar kalian kepada kami.†Lantas Ali menoleh kepada kami dan berkata: “Kalau saja Allah mengizinkan, niscaya mereka akan mengabari kalian bahwa bekal yang paling baik adalah takwa.â€
Pada hakikatnya dunia tidaklah dicela, yang dicela adalah keterpautan hati hamba kepada dunia. Dunia adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang pada surga atau neraka. Akan tetapi, kalau syahwat dan kelalaian sudah merajai sehingga mereka berpaling dari Allah dan akhirat, maka nasib celakalah yang menghantam para penghuni dunia dan dunia itu sendiri.
Tercela tidaknya dunia ini tergantung sepenuhnya pada penghuninya dalam menyikapi dunia. Akan tetapi kalau terjadinya sebaliknya (lebih mengutamakan akhirat), maka dunia bisa dianggap sebagai batu loncatan dan ladang bagi akhirat. Dari dunia ini akan dipungut bekal akhirat. Didunia pula setiap orang bisa mencurahkan waktu untuk mengenal Allah, cinta pada-Nya dan mengingat-Nya untuk mencapai ridha-Nya.
Tinggi rendahnya derajat seseorang disurga tergantung bagaimana amal kebaikannya semasa didunia. Cukuplah sebagai gambaran bahwa disurga terdapat pujian dan karunia bagi para wali Allah. Didalamnya ada panorama yang menyejukkan mata, menyenangkan hati, mengembirakan para arwah dan kenikmatan tiada tara. Itu semua merupakan buah ketika di dunia mereka mengingat Allah, mengenal-Nya, mencintai-Nya, beribadah pada-Nya, bertawakal pada-Nya, kembali pada-Nya, dekat dengan-Nya, senang beringsut mendekati-Nya, merendahkan diri dihadapan-Nya, merasakan kenikmatan dalam bermunajat pada-Nya, menghadap pada-Nya, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan-Nya daripada lain-Nya.
Didunia ini ada kalam Allah wahyu-Nya, petunjuk-Nya dan malaikat utusan-Nya yang membawa wahyu atas perintah-Nya. Dia juga mengabarkan kepada para hamba-Nya apa saja yang dikehendaki-Nya
Karena itulah Ibn ‘Uqail dan para ulama lainnya lebih memilih cinta kepada Allah dan ridha-Nya daripada kenikmatan surgawi. Mereka berkata: “Ini adalah hak Allah yang ditetapkan atas mereka. Mereka mempunyai jatah dan kenikmatan karena telah menunaikan hak Allah tersebut. Hak Allah jauh lebih tinggi nilainya daripada hak mereka.†Mereka berkata: “Iman dan taat itu lebih bermakna daripada balasan Allah terhadap hamba-Nya.â€
Hemat kami, tidak pernah ada pengunggulan satu hal diatas lainnya didunia dan akhirat ini. Kalau saja dua hal ini bisa berada disatu tempat (dunia atau akhirat), mungkin saja salah satunya bisa diunggulkan. Iman dan taat didunia ini lebih utama daripada isi dunia ini. Masuk surga dan melihat wajah Allah, mendengarkan firman-Nya dan keselamatan dengan mendapatkan ridha-Nya, lebih utama daripada isi akhirat.
Yang disebut terakhir ini lebih bernilai daripada yang ada didunia, sekaligus lebih unggul daripada yang ada diakhirat. Tidak diboleh dikatakan mana yang lebih utama? Yang satu lebih utama ditinjau dari sana, dan satu lagi lebih bernilai ditinjau dari sudut pandang tujuan. Hanya Allah yang memberikan taufiq.[]
*Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur*
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah